Di sela-sela pengkajian kitab Hasyiyah al-Bajuriy, tentang
orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat), Sang Guru bercerita
kurang lebih demikian “Ketika dulu saya mengajar di pesantren, sebelum menerima
gaji, saya hitung dulu berapa jam saya tidak tepat waktu dalam mengajar (kurang
dari waktu yang semestinya). Setelah kekurangan waktu mengajar diketahui dan
dinilai dengan uang, maka saya kembalikanlah sejumlah uang dari gaji saya
tersebut kepada pihak bendahara (yang membagikan gaji) di pesantren. Meskipun
tidak ada aturan dari pesantren yang mengharuskan berbuat demikian, tetapi
beberapa orang kawan (sesama guru) juga berbuat demikian, karena takut termakan
uang gaji yang tidak halal akibat dari mengajar yang kurang dari waktu
semestinya. Namun, sebagian kawan yang lain ada juga yang tidak mengembalikan
sebagian uang tersebut.”
Maksudnya apaan sih? Misalnya, dalam satu hari saya
dijadwalkan mengajar selama 4 jam dengan gaji perharinya Rp. 30 ribu. Pada
suatu hari, karena ada keperluan tertentu, saya hanya mengajar selama 2 jam
saja. Ketika waktu gajian tiba, diserahkan gaji saya yang perharinya Rp. 30
ribu/4 jam. Pertanyaannya, apakah uang Rp. 15 ribu dari hasil tidak mengajar
selama 2 jam yang diterima itu halal bagi kita? Nah, bagi anda yang beranggapan
bahwa uang Rp. 15 ribu tadi tidak halal (haram) atau syubhat (antara halal dan
haram=mendekati haram) dapat mengembalikan uang tersebut sebagaimana yang
dilakukan Sang Guru tadi. Inilah yang penulis sebut dengan “kejujuran”. Sifat
kejujuran ini timbul dari suatu sifat terpuji yang dinamakan wara’, yaitu
berusaha keras menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat (apalagi haram),
dan perbuatan sia-sia yang dibolehkan (halal).
Mungkin banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut,
karena permasalahan tersebut samar-samar. Berbeda dengan korupsi atau mencuri
yang jelas-jelas diharamkan. Namun, sebenarnya hal di atas juga bisa
dikategorikan sebagai korupsi, yakni korupsi waktu. Disebabkan hampir semua
orang pernah korupsi waktu dalam bekerja, sehingga permasalahan tersebut
menjadi samar atau kurang jelas. Perilaku Sang Guru tadi menurut penulis patut
diteladani. Sebab, akal sehat dapat menerima bahwa apabila seseorang mengajar
berarti ia berhak atas upah (gaji). Demikian pula sebaliknya, apabila tidak
mengajar (padahal diwajibkan mengajar) berarti ia tidak berhak mendapat upah.
Penulis teringat ketika kuliah dulu, ada dosen yang jarang
masuk, atau kalau masuk tapi sebentar dan sebagainya. Mereka ambil gaji
semuanya, atau mengembalikan sebagiannya, penulis tidak tahu, itu sih urusan
mereka. Para pegawai pun demikian. Semestinya masuk kantor pukul 7 pagi dan
pulang pukul 2 siang (bagi yang 6 hari kerja), malah ada yang masuk pukul 9 dan
pulangnya lebih awal. Ada yang izin menjemput anak sekolah setiap harinya,
ibu-ibunya ada yang belanja ke pasar; eh…tau-taunya kena rajia Satpol PP. Ada
yang alasannya lagi tidak ada kerjaan atau ada juga yang menghindari pekerjaan.
Tetapi kalau sudah gajian, paling duluan ngambil gaji.
Pertanyaannya: Kalau guru atau pegawai honorer dapat
mengembalikan “uang syubhat” itu langsung kepada bendahara sekolah yang
menggajinya, lalu ke mana para pegawai negeri mengembalikan uang syubhat
tersebut berhubung sekarang ini gaji perbulannya diambil lewat Bank-Bank
tertentu (tidak lagi di kantor tempat bekerja)? Ya kalau dirasa sulit atau
tidak yakin uang tersebut akan masuk ke kas negara ketika kita serahkan (karena
diselewengkan), maka orang tersebut sebaiknya mengeluarkannya melalui jalan
diinfakkan atau apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Tapi
ingat! itu bukan zakat. Sebab, biasanya zakat profesi sudah dipotong dari gaji
perbulannya oleh bagian keuangan tempat saudara bekerja.
Kita sadar bahwa sikap seperti Sang Guru di atas sangatlah
langka sekali. Namun, itulah sikap kejujuran yang benar dan patut diteladani
yang timbul dari sifat ikhlas dan takut akan termakan harta yang haram. Karena
sadar bahwa bekerja itu untuk tujuan ibadah, sehingga pekerjaannya pun bernilai
ibadah. Bukan sebaliknya, bekerja untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya
tanpa memperhatikan halal dan haram.
Wallahu A’lamu bi al-Shawab
by Fakhruzzaini
Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150114874927349
Sebuah Cerita Berjuta Makna
0 komentar:
Post a Comment
Komentar yang bijak mencerminkan anda pembaca yang baik !