Wednesday 12 March 2014

Kejujuran dalam Bekerja



Di sela-sela pengkajian kitab Hasyiyah al-Bajuriy, tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat), Sang Guru bercerita kurang lebih demikian “Ketika dulu saya mengajar di pesantren, sebelum menerima gaji, saya hitung dulu berapa jam saya tidak tepat waktu dalam mengajar (kurang dari waktu yang semestinya). Setelah kekurangan waktu mengajar diketahui dan dinilai dengan uang, maka saya kembalikanlah sejumlah uang dari gaji saya tersebut kepada pihak bendahara (yang membagikan gaji) di pesantren. Meskipun tidak ada aturan dari pesantren yang mengharuskan berbuat demikian, tetapi beberapa orang kawan (sesama guru) juga berbuat demikian, karena takut termakan uang gaji yang tidak halal akibat dari mengajar yang kurang dari waktu semestinya. Namun, sebagian kawan yang lain ada juga yang tidak mengembalikan sebagian uang tersebut.”

Maksudnya apaan sih? Misalnya, dalam satu hari saya dijadwalkan mengajar selama 4 jam dengan gaji perharinya Rp. 30 ribu. Pada suatu hari, karena ada keperluan tertentu, saya hanya mengajar selama 2 jam saja. Ketika waktu gajian tiba, diserahkan gaji saya yang perharinya Rp. 30 ribu/4 jam. Pertanyaannya, apakah uang Rp. 15 ribu dari hasil tidak mengajar selama 2 jam yang diterima itu halal bagi kita? Nah, bagi anda yang beranggapan bahwa uang Rp. 15 ribu tadi tidak halal (haram) atau syubhat (antara halal dan haram=mendekati haram) dapat mengembalikan uang tersebut sebagaimana yang dilakukan Sang Guru tadi. Inilah yang penulis sebut dengan “kejujuran”. Sifat kejujuran ini timbul dari suatu sifat terpuji yang dinamakan wara’, yaitu berusaha keras menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat (apalagi haram), dan perbuatan sia-sia yang dibolehkan (halal).

Mungkin banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut, karena permasalahan tersebut samar-samar. Berbeda dengan korupsi atau mencuri yang jelas-jelas diharamkan. Namun, sebenarnya hal di atas juga bisa dikategorikan sebagai korupsi, yakni korupsi waktu. Disebabkan hampir semua orang pernah korupsi waktu dalam bekerja, sehingga permasalahan tersebut menjadi samar atau kurang jelas. Perilaku Sang Guru tadi menurut penulis patut diteladani. Sebab, akal sehat dapat menerima bahwa apabila seseorang mengajar berarti ia berhak atas upah (gaji). Demikian pula sebaliknya, apabila tidak mengajar (padahal diwajibkan mengajar) berarti ia tidak berhak mendapat upah.

Penulis teringat ketika kuliah dulu, ada dosen yang jarang masuk, atau kalau masuk tapi sebentar dan sebagainya. Mereka ambil gaji semuanya, atau mengembalikan sebagiannya, penulis tidak tahu, itu sih urusan mereka. Para pegawai pun demikian. Semestinya masuk kantor pukul 7 pagi dan pulang pukul 2 siang (bagi yang 6 hari kerja), malah ada yang masuk pukul 9 dan pulangnya lebih awal. Ada yang izin menjemput anak sekolah setiap harinya, ibu-ibunya ada yang belanja ke pasar; eh…tau-taunya kena rajia Satpol PP. Ada yang alasannya lagi tidak ada kerjaan atau ada juga yang menghindari pekerjaan. Tetapi kalau sudah gajian, paling duluan ngambil gaji.

Pertanyaannya: Kalau guru atau pegawai honorer dapat mengembalikan “uang syubhat” itu langsung kepada bendahara sekolah yang menggajinya, lalu ke mana para pegawai negeri mengembalikan uang syubhat tersebut berhubung sekarang ini gaji perbulannya diambil lewat Bank-Bank tertentu (tidak lagi di kantor tempat bekerja)? Ya kalau dirasa sulit atau tidak yakin uang tersebut akan masuk ke kas negara ketika kita serahkan (karena diselewengkan), maka orang tersebut sebaiknya mengeluarkannya melalui jalan diinfakkan atau apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Tapi ingat! itu bukan zakat. Sebab, biasanya zakat profesi sudah dipotong dari gaji perbulannya oleh bagian keuangan tempat saudara bekerja.

Kita sadar bahwa sikap seperti Sang Guru di atas sangatlah langka sekali. Namun, itulah sikap kejujuran yang benar dan patut diteladani yang timbul dari sifat ikhlas dan takut akan termakan harta yang haram. Karena sadar bahwa bekerja itu untuk tujuan ibadah, sehingga pekerjaannya pun bernilai ibadah. Bukan sebaliknya, bekerja untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan halal dan haram.

Wallahu A’lamu bi al-Shawab

by Fakhruzzaini

Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150114874927349

Sebuah Cerita Berjuta Makna

0 komentar:

Post a Comment

Komentar yang bijak mencerminkan anda pembaca yang baik !

Categories

islam (20) Hobby (10) Allah (9) do'a (9) wanita (9) Hypnosis (7) surga (7) Tugas Database (6) Tugas Kuliah (6) ibadah (6) kafir (6) muslim (6) neraka (6) sholat (6) cinta (5) tahun baru (4) tutorial (4) agama (3) dosa (3) freebsd (3) hukum (3) jilbab (3) pria (3) Al-Qur'an (2) Computer (2) Dream Journal (2) baik (2) csc (2) dakwah (2) guacamole (2) hamba Allah (2) komputer (2) linux (2) malu (2) nabi (2) perayaan (2) rdp (2) remote desktop (2) sesat (2) ssh (2) syaitan (2) telnet (2) unix (2) virtualbox (2) vmware (2) vnc (2) yahudi (2) Apache (1) Computer Student Club (1) HAProxy (1) Layer 7 (1) Load Balance (1) Nginx (1) PNJ (1) Politeknik Negeri Jakarta (1) SSL (1) Tips (1) Webserver (1) adzan (1) artikel islami (1) asterisk (1) aurat (1) belajar (1) debian (1) freebsd 9.3 (1) gelombang otak (1) gnuradio (1) hati (1) hijab (1) ikhlas (1) install freebsd (1) internet (1) jujur (1) kemuliaan (1) khusyuk (1) merayakan (1) muharam (1) musik (1) openbts (1) puasa (1) rahmat (1) rasa (1) rasul (1) realita kehidupan (1) remaja (1) sains (1) sakit (1) salam (1) smqueue (1) ucapan (1) wudhu (1) yate (1)

Share it !!!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger