Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan surga bagi hamba-hamba
yang beriman dan menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat dan
salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para
sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka.
Amma ba’du.
Berikut
ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan
oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di
dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum
terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga
Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
1. Beriman dan beramal salih
Allah ta’ala berfirman,
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Berikanlah
kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih
bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25)
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani
rahimahullah mengatakan,
وأنَّ
الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ بالجوارِح، يَزيد
بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها
الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ
إلاَّ بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة.
“Iman
adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan
anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang
dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami
pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak
sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal
juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-.
Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila
sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (
Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan
radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (
Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2. Bertakwa
Allah ta’ala berfirman,
لِلَّذِينَ
اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Bagi orang-orang yang bertakwa
terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa surga-surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, begitu pula
mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari
Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah
menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang
yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya
dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka
dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala
dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang
oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa
hukuman-Nya (
Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk
dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang
datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan
syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah).
Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan
kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah,
baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di
tengah keramaian/di hadapan orang (lihat
Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad
hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi
rahimahullah
menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan
ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan
bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala
keadaannya (
Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah
memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada
ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya),
“Bertakwalah
kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api
neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron:
130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan
segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa
kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena
sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa
besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat
kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di
dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat
menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah
al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan
menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan
tercurahnya rahmat bagi mereka (
Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali
rahimahullah
mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat
ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang
disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh,
tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (
Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab
rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu,
Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab,
“Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan,
peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk
Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah
orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada
mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar
bin Abdul Aziz
rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau
rahimahullah
berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang
hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi
hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang
diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang
siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu
adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib
rahimahullah
berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas
cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu
meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena
takut hukuman Allah.” (dinukil dari
Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim
rahimahullah
berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah
ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Yang demikian itu
dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.”
(Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan
sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-,
akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu).” (
al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua
kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun
beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan
yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja
menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua
kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai
dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di
jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak
menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan
amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya
orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk
melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang
beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk
menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka,
sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan
hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya
tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan
pasangannya…” (
al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
3. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Barang
siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat
besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang
beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar
rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka
hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah ta’ala menyatakan,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (Qs. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا
دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ
الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika
menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah,
sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan
sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim
rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa
digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang
tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan
tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya
dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara
dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan
yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi
seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah
orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati.
Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan
mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna
kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi
seruan dakwah Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung
unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya
maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di
dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya
istijabahnya terhadap Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (
al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
4. Cinta dan Benci karena Allah
Allah ta’ala berfirman,
لَا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ
حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Tidak akan kamu jumpai
suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang
kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka
itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka,
maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan
Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan
dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan
Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang
yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».
“Barang
siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi
karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia
telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang
dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan
anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5. Berinfak di kala senang maupun susah
Allah ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ
وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي
السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا
لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا
عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Bersegeralah menuju
ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang
menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang
yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan
perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera
mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan
siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak
terus menerus melakukan dosanya sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
الم
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada
keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu
orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan sholat, dan
membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)
Syaikh
as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup
berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan
kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak
yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di
atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi
menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari
harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan
dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian
pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga
mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang
dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh
sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara
mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan
untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat
Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6. Memiliki hati yang selamat
Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada
hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan,
melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)
Abu Utsman an-Naisaburi
rahimahullah
mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas
dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam
tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi
rahimahullah
mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang
bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada
seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas
ahli tafsir.” (
Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi
rahimahullah
juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan
bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari
penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (
Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim
rahimahullah
mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat
itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi
perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam
syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati
semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia
akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (
Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah
mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan,
keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan
dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan
tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa
keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan
itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti
kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari
Allah.” (
Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim
rahimahullah
juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila
dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka
bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah.
Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (
Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Demikianlah
sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat
bagi yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=176291449059659
Sebuah Cerita Berjuta Makna