Hukum menyambut dan merayakan hari Raya non Muslim (Natal/Tahun Baru/Imlek, red)
Penulis: Al-'Allaamah Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan
Sesungguhnya
di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir
ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang
paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat
maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan
meninggalkannya.
Ada seorang lelaki yang datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia
telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) :
” Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang
disembah ?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana
tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?” Dia menjawab,
“Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya
tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal
yang tidak dimiliki oleh anak Adam”
[Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]
Hadits
diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di
bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ;
atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab
hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam
mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka
atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut
merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas)
kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar
mereka.
Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira
pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak
makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan
berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri
mabuk-mabukan atau perzinaan, red).
Dan diantaranya lagi ialah
mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan
terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat
menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.
Pertama.
Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal
tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita
dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung
kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.
Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan
semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang
disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat
maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa
mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak
melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia
melakukannya.
Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid’ah
yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci
hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”.
Beliau juga mengatakan,
“Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam
hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian,
mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan
beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau
memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari
raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya
melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan
perhiasan.
Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi
ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal
Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-’Aql 1/425-426).
Hari raya mereka
bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal
istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan
hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai
golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan
pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di
antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang
melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar
kekufuran.
Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang menyembelih
kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia
menyembelih babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang
mengikuti negera-negara ‘ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz
[2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia
dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada
Hari Kiamat.
Footnote :
[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang
bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau
ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas
dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk
hari bahagia -pent.
(Dinukil
dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, dalam kitab
At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1])
Fatawa Seputar Perayaan Natal
Asy-Syaikh
Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh berkata dalam Al-Minzhar hal. 104,
ketika beliau menyebutkan beberapa kesalahan kaum muslimin berupa
tasyabbuh (menyerupai) orang-orang non muslim. Beliau berkata pada
kesalahan yang ketiga:
Tasyabbuh dengan mengadakan id (hari raya)
yang diadakah oleh selain kaum muslimin atau turut serta dalam
hari-hari raya mereka.
Ini haram, tidak halal bagi siapapun untuk
merayakan dan turut serta di dalam satupun dari hari-hari raya Nashrani.
Sebagian kaum muslimin ada yang merayakan ‘id untuk para karyawan (yang
non muslim) di yayasan atau di perusahaan atau di rumah-rumah.
Perbuatan ini adalah dukungan kepada mereka (orang-orang kafir) dalam
menegakkan syiar-syiar agama dan kesyirikan mereka. Dan barangsiapa yang
tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka dia termasuk dari mereka,
sebagaimana yang tsabit (shahih) bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang jayyid)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Hukum minimal yang
terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka,
walaupun lahiriah hadits ini menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh
kepada mereka (orang-orang kafir)”.
Maka tidak halal untuk turut
serta bersama ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam menyelenggarakan
hari-hari raya mereka, baik dengan cara memberikan hadiah -sekecil
apapun- kepada mereka atau dengan memberikan ucapan selamat hari raya
kepada mereka. Semua ini dalam rangka memutuskan benih-benih kesyirikan,
menampakkan kemuliaan dan keistimewaan Islam di atas para pengiktu
kesesatan, dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya.
Allah
-Ta’ala- berfirman, “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan
di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)
Ibnu
Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah telah melarang kaum mukminin
untuk tasyabbuh dengan mereka (ahli kitab) dalam semua perkara, baik
dalam perkara ushul (pokok) maupun yang furu’ (cabang)”.
<span>
Berikut beberapa fatawa 'Ulama yang menguatkan penjelasan di atas:</span>
1. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin mengenai: Hukum Ucapan Merry Christmas (Selamat Natal)
Tanya:
Bagaimana
hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang
Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka
mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta
yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila
melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang
sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak
enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka
di dalam hal itu?
Jawab:
Mengucapkan ‘Merry Christmas’ atau
perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang kafir adalah haram
berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil dari Ibnu
Al-Qayyim -rahimahullah- di dalam kitabnya Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah’.
Beliau berkata,
“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan
syiar-syiar kekufuran yang menjadi kekhususan mereka adalah haram
menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap
hari-hari besar dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘semoga hari raya
anda diberkahi’ atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan
semacamnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya tidak
terjatuh ke dalam kekufuran, maka dia telah terjatuh ke dalam hal yang
diharamkan. Ucapan semacam ini sama saja dengan ucapan selamat kepada
perbuatan mereka sujud terhadap salib, bahkan ucapan ini lebih besar
dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat seperti lebih dimurkai Allah
daripada memberikan ucapan selamat kepada orang yang meminum khamar,
membunuh jiwa, melakukan perzinaan, dan selainnya dari perbuatan
maksiat. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar
keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar
betapa buruk perbuatannya tersebut. Karenanya, barangsiapa yang
mengucapkan selamat kepada seseorang karena melakukan suatu maksiat,
bid’ah, atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan dan
kebencian dari Allah.”
Mengenai kenapa Ibnu Al-Qayyim sampai
menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir berkenaan
dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka adalah haram, maka
karena hal itu mengandung persetujuan kepada syiaar-syiar kekufuran yang
mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan. Sekalipun dirinya
sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu akan tetapi tetap haram atas
seorang muslim untuk meridlai syiar-syiar kekufuran atau mengucapkan
selamat kepada orang lain berkenaan dengannya, karena Allah Ta’ala tidak
meridlai hal itu sebagaimana dalam firman-Nya, “Jika kalian kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) kalian dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-hambaNya, dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia
meridhai bagi kalian kesyukuran itu.” (QS. Az-Zumar: 7)
Juga dalam
firman-Nya, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama
kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama kalian.” (QS. Al-Maidah :3)
Jadi,
mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram,
baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengannya maupun bukan.
Bila
mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka
kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar
itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena dia adalah hari besar
yang tidak diridlai Allah Ta’ala, walaupun hari besar itu muncul karena
perbuatan mengada-ada ataupun memang hari raya itu disyari’atkan dalam
agama mereka, akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam
yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam diutus Allah
kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman, Barangsiapa yang mencari
agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang
rugi.” (QS. Ali Imran :85)
Karena itu, hukum bagi seorang muslim
yang memenuhi undangan mereka dalam menghadiri hari raya mereka adalah
haram karena itu lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat
kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung
makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.
Demikian
pula, haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang
kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka
tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, hidangan makanan,
meliburkan pekerjaan, dan yang semisalnya.
Hal ini berdasarkan
sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiah berkata di dalam kitabnya Iqtidha` Ash-Shirath
Al-Mustaqim fii Mukhalafah Ashhab Al-Jahim, “Menyerupai mereka di dalam
sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa
senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali
hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam
kesempitan) dan menghinakan kaum yang lemah (imannya).”
Dan
barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa,
baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa
malu atau sebab-sebab lainnya karena dia termasuk bentuk peremehan
terhadap agama Allah dan menjadi sebab hati orang-orang kafir menjadi
kuat dan bangga terhadap agama mereka.
Kepada Allah kita memohon
agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan
kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap
musuh-musuh mereka, sesungguh Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Diterjemah dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin: 3/44-46, fatwa no.403]
2.
Fatwa Asy-Syaikh Saleh bin Abdillah Al-Fauzan mengenai: Menyambut dan
Ikut Merayakan Hari Raya atau Pesta Orang-Orang Kafir Serta Berbela
Sungkawa (Ta’ziah) Dalam Hari Berduka Mereka:
Tidak
boleh memberi ucapan selamat (tahniah) atau ucapan belangsungkawa
(ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’
(bantuan) dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka, dan juga dikarenakan
hal tersebut mengandung pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka
hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini, sebagaimana
haramnya mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka atau membuka
jalan bagi mereka.
Ibnu Al-Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati
jangan sampai terjerumus -sebagaimana orang-orang bodoh- ke dalam
ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha terhadap agamanya (orang kafir).
Seperti ucapan mereka (sebagian orang bodoh), “Semoga Allah
membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”,
atau berkata, “semoga Allah memuliakannmu”. Kecuali jika dia (muslim)
berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada
dengan itu. Itu semua tahniah dengan perkara-perkara umum.
Tetapi
jika tahni’ah itu dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka
seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari
raya natal” umpamanya atau “berbahagialah dengan hari raya ini” atau
yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapakannya selamat dari
kekufuran, maka dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu
sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka
kepada salib, bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada
memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau
berzina atau sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus
dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan
ucapan selamat kepada seseorang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran
maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama yang wara’ (menjauhi
yang namanya makruh apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari
tahni’ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang
diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen, atau mufti , semuanya demi
menghindari murka dan laknat Allah dan laknat-Nya.” (Ahkam Ahli
Adz-Dzimmah: 1/205-206)
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa
memberi tahniah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan
(mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela
kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya
mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat
dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
[Disalin dari kitab
At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1,
Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]
3.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi
Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.
Tanya:
Apakah
seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani
dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember?
Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang
yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam
perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja.
Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang
membolehkan hal ini?
Jawab:
Tidak boleh bagi kita
bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya
mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan
semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin
bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini
termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah
berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.”
SUMBER :
http://al-atsariyyah.com/?p=1432
Bagaimana semestinya sikap Muslim yang tepat menyikapi hari raya Natal/Tahun Baru/Non Muslim lainnya ?
Berikut
nasihat dari Komisi Tetap Saudi Arabia”Sesungguhnya nikmat terbesar
yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah
nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah
Subhannahu wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang
lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi
nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs.
An Nisaa :69).
Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati
bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha mema-damkan cahaya Islam,
menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga
tidak lagi istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta’ala di
dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: “Sebagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan
biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:109)
Firman
Allah Subhannahu wa Ta’ala yang lain, artinya: Katakanlah: “Hai Ahli
Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang
telah beriman, kamu menghendakinya menjadi beng-kok, padahal kamu
menyaksikan”. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.
(QS. 3:99)
Firman ALLAH (yang artinya) : ” Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu menta’ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka
mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu
orang-orang yang rugi”. (QS. 3:149)
Salah satu cara mereka untuk
menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru
dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan
masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar
yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena
itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab
Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya
dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara
garis besar fatwa yang dimaksud adalah:
Sesungguhnya kaum Yahudi
dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan
peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru
yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam
perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang
sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum
muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya
menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.
Perayaan
yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas
sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan
ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar’i
seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam
dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul
keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang
tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau
Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar
orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya
menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat
untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya
merasa asing dengan agamanya sendiri.
Telah jelas sekali
dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan
meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan
ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini
adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala sesuatu
baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang
kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan,
termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka
lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir
yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim
untuk ikut mengagungkannya.
Larangan untuk meniru dan memeriahkan
hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga
dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:
Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.
Dukungan
dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni
akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa.
Yang
paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari
raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang
kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan
Allah Ta’ala, (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim”. (QS. 5:51)
Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan
bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama
dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar
yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung
dan membantu terselenggaranya acara tersebut.Karena hal ini termasuk
dosa dan melanggar batasan Allah.Dia telah melarang kita untuk
tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah,
(yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.” (QS. 5:2)
Tidak diperbolehkan kaum muslimin
memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur
dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti :
iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel;
menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat
cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan
selamat; membuat buku tulis;memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon
khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu
mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya
mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.
Kaum
muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir
seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh
berkah(hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah
hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad
nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain.
Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak
memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di atas hari-hari yang lain.
Dilarang
bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir,
karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa
gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah
pernah berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus
orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan
selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, “Selamat
hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus
ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar,
karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya
mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar
dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum
khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam
yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal
ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan.
Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan,
kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan
murka Allah”. Demikian ucapan beliau rahimahullah!
Setiap muslim
harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di
dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah
disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita
pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung.
Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad),
selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini,
tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.
Demikianlah
sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu
menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri
dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya
ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai
penolong.
(Dinukil dari Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian
Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru
tahun 2000.
Tertanda
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)
(Dikutip dari terjemah Kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid, Penulis Dr Shalih bin Fauzan)
SUMBER :
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=384