Wednesday 26 February 2014

Meninggalkan Sholat, Kafirkah ?




oleh: Al-Ustadz Abu Muawiah

Meninggalkan Shalat Karena Malas, Kafir Akbar Atau Asghar?



Allah Ta’ala berfirman:

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui ghayya.” (QS. Maryam: 59)

Ibnu Mas’ud menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut bahwa dia adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
(Lihat kitab Ash-Shalah karya Ibnu Al-Qayyim hal. 31)

Para ulama menyatakan bahwa tatkala orang yang meninggalkan shalat berada di dasar neraka, maka ini menunjukkan kafirnya mereka. Karena dasar neraka bukanlah tempat seorang pelaku maksiat selama dia masih muslim. Hal ini dipertegas dalam lanjutan ayatnya, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Ini menujukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan shalat dengan cara meninggalkannya, maka mereka bukanlah orang yang beriman.

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.
  (HR. Al-Bukhari no. 75 dan Muslim no. 21)

Jabir berkata: Saya mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

“Sungguh yang memisahkan antara seorang laki-laki (baca: muslim) dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan shalat.
 (HR. Muslim no. 82)

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/403), “Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat termasuk dari perkara yang menyebabkan terjadinya kekafiran.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah juga menerangkan perbedaan antara kata ‘al-kufru’ (memakai ‘al’) dengan kata ‘kufrun’ (tanpa ‘al’). Dimana kata yang pertama (yang memakai ‘al’/makrifah) bermakna kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama, sementara kata yang kedua (tanpa ‘al’/nakirah) bermakna kafir asghar yang tidak mengeluarkan dari agama. Sementara dalam hadits di atas dia memakai ‘al’.
(lihat Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim hal. 70)

Buraidah -radhiallahu anhu- berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat, karenanya barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir.
 (HR. At-Tirmizi no. 2621, An-Nasai no. 459, Ibnu Majah no. 1069 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4143)

Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.”

Dari Abdullah bin Syaqiq Al-Uqaili -rahimahullah- dia berkata:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ

“Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpendapat mengenai sesuatu dari amal perbuatan yang mana meninggalkannya adalah suatu kekufuran melainkan shalat.” (HR. At-Tirmizi no. 2622)



Pembahasan:
Shalat mempunyai kedudukan yang besar dalam agama Islam, bahkan dia adalah tiang penegaknya yang tanpanya maka agama seseorang akan roboh dan hancur. Karenannya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya -alaihishshalatu wassalam- senantiasa memperingatkan akan bahayanya meninggalkan dan menyepelekan shalat, sampai-sampai Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengabarkan bahwa pemisah antara seorang muslim dengan kekafiran adalah ketika dia meninggalkan shalat.
Adapun masalah hukum orang yang meninggalkan shalat, maka ada beberapa masalah yang butuh dibahas:

Masalah Pertama: Hukum umum meninggalkan shalat
Kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat tanpa ada uzur syar’i maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam suatu dosa yang sangat besar yang akan membahayakan kehidupannya di akhirat kelak.

Ibnu Al-Qayyim -rahimahullah- berkata dalam kitab Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha hal. 7, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.”
Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- juga berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair hal. 25)

Dan para ulama juga telah bersepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari wajibnya shalat 5 waktu -misalnya dia meyakini sunnahnya shalat ashar- maka sungguh dia telah kafir keluar dari Islam, sama saja baik dia shalat maupun tidak. Karena keyakinan seperti termasuk kekafiran yang bersifat i’tiqadi (hati) dimana dia mengingkari kewajiban sebuah amalan yang telah diketahui wajibnya secara darurat (tanpa butuh dipelajari) dalam agama Islam ini.
Imam Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/403), “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat (5 waktu) dalam keadaan dia mengingkari wajibnya.”


Masalah Kedua: Hukum meninggalkan shalat karena malas
Setelah mereka bersepakat dalam masalah di atas, mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja karena malas atau tanpa ada uzur syar’i, apakah itu merupakan perbuatan kekafiran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama (jika syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalangnya tidak ada) ataukah itu merupakan dosa yang sangat besar akan tetapi hanya merupakan kekafiran asghar (kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Ada dua pendapat besar di kalangan ulama:

1.    Meninggalkan shalat karena malas adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Said bin Jubair, Asy-Sya’bi, An-Nakhai, Al Auzai, Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu Al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hakam bin Utaibah, Abu Daud Ath-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan Al-Malikiah, pendapat sebagian ulama Asy-Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thahawi). Dan ini merupakan pendapat sebagian besar sahabat -bahkan sebagian ada yang menukil ijma’ berdasarkan sebagaimana dalam atsar Ibnu Syaqiq di atas-, di antaranya adalah: Umar bin Al-Khaththab, Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Ad-Darda`, Ali buin Abi Thalib, dan selainnya .
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, berkata, “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan hingga keluar waktunya adalah kafir.”

2.    Meninggalkan shalat karena malas adalah kekafiran asghar yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, salah salah satu pendapat Imam Ahmad, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama, dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Mandah dalam Al-Iman (1/362), Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah (2/683), Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Fatawa Kubra Al-Fiqhiah (2/32), Ibnu Al-Qayyim dalam kitab Ash-Shalah dimana beliau menukil ijma’ para sahabat akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Dan dari kalangan masyaikh belakangan seperti: Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ibnu Baz, Ibnu Al-Utsaimin, Muqbil bin Hadi, dan selainnya -rahimahulullah-. Di antara dalil mereka adalah semua dalil yang disebutkan di atas, dan di antara dalil lainnya adalah:

a.    Allah Ta’ala berfirman, “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.
” (QS. At Taubah: 11).
Ayat ini tegas menujukkan bahwa orang yang tidak bertaubat dari kesyirikan, tidak mengerjakan shalat, dan tidak menunaikan zakat maka dia bukanlah saudara kita seislam, yakni dia adalah orang kafir. Hanya saja dikecualikan darinya zakat (yakni yang meninggalkannya tidak dihukumi kafir) berdasarkan hadits Abu Hurairah tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyebutkan siksaan yang menimpa orang yang tidak mengeluarkan zakat, kemudian beliau bersabda:
ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ
“Kemudian (setelah dia disiksa, pent.) dia akan melihat jalannya, apakah menuju ke surga atau ke neraka.” (HR. Abu Daud no. 1414)
Hadits ini mengkhususkan makna ayat di atas, dimana hadits ini menunjukkan bahwa setelah orang yang tidak menunaikan zakat itu disiksa, maka dia akan diperlihatkan tujuan akhirnya, apakah ke dalam neraka ataukah surga. Sisi pendalilannya bahwa masih ada kemungkinan dia untuk masuk ke dalam surga, dan ini jelas menunjukkan tidak kafirnya dia.

b.    Sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam- akan tidak bolehnya memberontak kepada pemerintah kecuali dia telah melakukan kekafiran yang nyata. dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai’at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau, “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang sangat jelas yang ada bukti kuatnya bagi kalian dari Allah.”
(HR. Al-Bukhari no. 6532 dan Muslim no. 3427)

Dan dalam hadits yang lain beliau melarang untuk mengkudeta pemerintah selama pemerintah itu masih mengerjakan shalat. Diriwayatkan dalam shahih Muslim no. 3445, dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا

“Kelak akan ada para pemimpin dimana kalian mengenal mereka akan tetapi kalian mengingkari perbuatan mereka. Barangsiapa yang mengetahui kemungkaran (lalu mengingarinya) maka dia telah bebas dari pertanggungjawaban, barangsiapa yang menolaknya maka dia juga selamat, akan tetapi (yang berdosa adalah) siapa yang rela dan mengikuti kemungkaran tersebut. Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan shalat.”

Maka ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat termasuk kekafiran yang sangat jelas, karena dia merupakan salah satu sebab akan bolehnya mengkudeta pemerintah, yakni jika mereka sudah tidak mengerjakan shalat.

Adapun dalil-dalil dari pendapat kedua, yaitu para ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, maka Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima jenis dalil. Dan kesemuanya tidaklah bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.”

Jenis pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas.

Jenis kedua: Dalilnya shahih akan tetapi tidak ada sisi pendalilan yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini.

Jenis ketiga: Dalil-dalil umum, akan tetapi dia dikhususkan oleh hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Jenis Keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu batasan yang tidak mungkin baginya meninggalkan shalat.

Jenis kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
Lihat penjabaran dan contoh kelima jenis dalil ini dalam risalah Hukmu Tarik Ash-Shalah karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.

Kesimpulan:
Meninggalkan shalat karena malas dan tanpa ada uzur syar’i adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama islam.



Masalah Ketiga: Hukum bunuh bagi yang meninggalkan shalat.
Mengenai hukum bunuh bagi orang yang meninggalkan shalat karena malas, ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama adalah bahwa dia harus dibunuh karena dia telah murtad keluar dari Islam. Ini adalah pendapat semua ulama yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia!
 (HR. Al-Bukhari no. 2794, 6411)

Pendapat kedua adalah yang menyatakan dia harus dibunuh, akan tetapi bukan karena dia kafir tapi sebagai hukum had sebagaimana yang terjadi pada pezina yang telah menikah, dia dibunuh dengan dirajam. Ini adalah pendapat semua ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, kecuali Abu Hanifah.
Pendapat yang ketiga adalah pendapat Abu Hanifah, dimana beliau menyatakan bahwa pelakunya cukup dikurung sampai dia mau kembali shalat dan dia tidak dibunuh.
Berdasarkan pendapat yang kuat pada masalah kedua sebelumnya, maka pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, yakni dia harus dibunuh karena dia telah murtad dari agamanya.

Catatan:
Yang melaksanakan hukum bunuh di sini adalah pemerintah atau yang mewakilinya, sebagaimana merekalah yang berhak menegakkan hukum-hukum had lainnya seperti rajam dan potong tangan bagi pencuri.

Masalah Keempat: Kapan seseorang dihukumi meninggalkan shalat
Dalam masalah ini, secara umum ada dua pendapat besar di kalangan para ulama yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas:
Pendapat pertama: Ibnu Hazm menyebutkan dalam Al-Muhalla (1/242), “Terdapat riwayat dari Umar, Muadz, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan dari para sahabat yang lain, bahwa seorang yang sengaja meninggalkan shalat fardhu sekali saja hingga keluar waktunya telah kafir dan murtad.” Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
Pendapat yang lain: Bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikafirkan kecuali meninggalkannya secara total, atau bersikukuh untuk meninggalkan walaupun setelah diancam untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dimana beliau menyatakan mengenai hadits Jabir di atas bahwa yang dimaksudkan dengan meninggalkan shalat di situ adalah meninggalkan shalat selamanya.

Yang lebih tepat insya Allah pendapat yang paling terakhir. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam Majmu` Al-Fatawa (7/219), Ibnul Qayyim dalam Ash-Shalah hal. 60, 82, Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf (1/378), dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti` (2/26). Jadi jika ada seseorang yang asalnya dia shalat hanya saja terkadang dia meninggalkannya karena malas, maka dia tetap dihukumi seorang muslim dan tidak dihukumi kafir, kecuali jika dia telah meninggalkan shalat secara menyeluruh,

wallahu a’lam.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/meninggalkan-shalat-karena-malas-kafir-akbar-atau-asghar.html

Sebuah cerita berjuta makna

Ketika Allah MARAH



===============
Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kalian wahai manusia.
Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantinya). Dan, adalah Allah Mahakuasa berbuat demikian.
(QS 4: 133)
===============


Sebagaimana kita ketahui,...
Bencana alam datang secara bertubi-tubi menimpa rakyat dan bangsa.
Banjir, angin badai, tanah longsor, gunung meletus, dan bencana lainnya datang tidak henti-hentinya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.


===============
Dan perlu di INGAT,..
itu baru sebagian KECIL dari azab yang Allah berikan,...!!!!
===============


Entah sudah berapa banyak kerugian yang dialami, baik secara material maupun nonmaterial. Ratusan bahkan ribuan nyawa manusia melayang, ternak-ternak mati, bangunan-bangunan hancur, rumah-rumah peribadatan rusak, berbagai macam penyakit merebak, sampai hilangnya mata pencaharian penduduk.
Belum lagi efek yang akan terjadi di kemudian hari, seperti trauma hidup, serta kesedihan yang mendalam dan berlarut-larut.

Apa sesungguhnya yang menyebabkan bencana kemanusiaan itu datang tak henti..?
Jika ditelaah dengan seksama, bencana yang terjadi bukan karena fenomena alam semata, tetapi juga dikarenakan ulah sebagian manusia itu sendiri yang menyebabkan turunnya murka Allah.
Dan, kemurkaan Allah pasti datang jika umat manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran dan ketentuan-Nya.


Pertama,
merajalelanya perbuatan nifak dan syirik di dalam masyarakat.
Kita melihat betapa sebagian masyarakat kita sangat percaya kepada yang selain Allah, seperti percaya pada takhayul, jin, khurafat, klenik, dan hal-hal yang berbau mistik.
Hal ini setidaknya terlihat dari acara-acara televisi yang gencar mempromosikan dan memberitakannya, ternyata mendapat sambutan dari masyarakat.
Ini telah mengakibatkan akidah dan keimanan masyarakat menjadi luntur dan goyah.

Kedua,
banyaknya kebohongan dan dusta yang dilakukan oleh pemimpin dan pejabat di negeri ini.
Kita melihat bahwa sebagian besar pemimpin kita saat ini tidak sanggup memenuhi janjinya untuk berlaku adil dalam upaya menyejahterakan masyarakat, sebagaimana terucap saat sumpah jabatan maupun yang terlontar pada saat kampanye.
Demikian pula ketika penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian pejabat negeri ini, menjadi sesuatu yang dianggap lumrah.


Perilaku mereka layaknya perbuatan Firaun yang menyengsarakan dan selalu berkata dusta kepada rakyatnya, sehingga mereka semua diazab oleh Allah.

Firman Allah Subhana Wa Ta'ala,
''Maka Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataannya itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, maka Kami menghukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut)''
(QS. 43 : 54-55)


Musibah demi musibah yang menimpa negeri ini hendaknya menjadikan rakyat dan bangsa ini untuk segera menyadari kekhilafan yang telah dilakukan.
Karena jika tidak, keMARAHan Allah akan datang pada waktu yang tidak terduga. Dan yang menjadi korban bukan semata-mata orang yang berbuat zalim, tetapi juga orang-orang yang berlaku baik.


=============
''Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya''
(QS. 8: 25)
=============

Wallahu Alam,..


Afwan
Akhi / Ukhti,..
Bagaimana kalian menyikapi keadaan yang tampak terlihat oleh mata kita,...??
Apa yang harus kita lakukan,..

Pandangan/koment kalian sangat ana nantikan,..
agar bisa menjadikan KOREKSI buat ana pribadi, 
dan semoga juga bermanfaat buat yang lainnya


Semoga bermanfaat
Akhiy Aduy Sukasno
Source ide penulisan dari Republika,..
melalui prose editing, penambahan dan pengurangan

Sumber: https://www.facebook.com/notes/akhiy-aduy-sukasno/ketika-allah-marah/310068289995 

Sebuah Cerita Berjuta Makna

Indonesia Cisco IT Ambassador 2012 - Cisco Live at Pesantren

>


Indonesia Cisco IT Ambassador from Jakarta State Polytechnic, Cisco Live at Pesantren, Share Knowledge and Joy

Student IT ambassador program empowers communities through the use of technology to improve lives in rural, remote and underserved communities across



Contact me:
FB: facebook.com/au714
Twitter: @au714nzg

Sumber: Sebuah Cerita Berjuta Makna

Categories

islam (20) Hobby (10) Allah (9) do'a (9) wanita (9) Hypnosis (7) surga (7) Tugas Database (6) Tugas Kuliah (6) ibadah (6) kafir (6) muslim (6) neraka (6) sholat (6) cinta (5) tahun baru (4) tutorial (4) agama (3) dosa (3) freebsd (3) hukum (3) jilbab (3) pria (3) Al-Qur'an (2) Computer (2) Dream Journal (2) baik (2) csc (2) dakwah (2) guacamole (2) hamba Allah (2) komputer (2) linux (2) malu (2) nabi (2) perayaan (2) rdp (2) remote desktop (2) sesat (2) ssh (2) syaitan (2) telnet (2) unix (2) virtualbox (2) vmware (2) vnc (2) yahudi (2) Apache (1) Computer Student Club (1) HAProxy (1) Layer 7 (1) Load Balance (1) Nginx (1) PNJ (1) Politeknik Negeri Jakarta (1) SSL (1) Tips (1) Webserver (1) adzan (1) artikel islami (1) asterisk (1) aurat (1) belajar (1) debian (1) freebsd 9.3 (1) gelombang otak (1) gnuradio (1) hati (1) hijab (1) ikhlas (1) install freebsd (1) internet (1) jujur (1) kemuliaan (1) khusyuk (1) merayakan (1) muharam (1) musik (1) openbts (1) puasa (1) rahmat (1) rasa (1) rasul (1) realita kehidupan (1) remaja (1) sains (1) sakit (1) salam (1) smqueue (1) ucapan (1) wudhu (1) yate (1)

Share it !!!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger