Penulis :
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Kalimat
"negara Islam" telah menjadi momok yang menakutkan, terutama sejak
dipaksakannya rekayasa sejarah yang mendiskreditkan Islam dan gerakan
Islam. Digambarkan betapa seramnya hukum Islam jika diterapkan, betapa
sadisnya hukum rajam dan potong tangan dan seterusnya.
Ditambah
lagi dengan gerakan-gerakan bid'ah yang berjihad tanpa ilmu, yang
menambah rusaknya gambaran Islam di mata awam. Yang akibatnya orang awam
dan non-Islam mengira gerakan jihad identik dengan terorisme,
perampokan, penjarahan, dan seterusnya.
Akhirnya
Islampobia menjalar di masyarakat, bahkan orang-orang yang berstatus
Muslim pun takut kalau hukum Islam diterapkan di Indonesia Raya ini.
Padahal kalau mereka mau melihat Islam dari sumbernya yang asli dari
Qur'an dan Sunnah, dengan pemahaman generasi-generasi terbaik yang
dipuji Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan dapati Islam adalah rahmat
dan kasih sayang untuk seluruh alam.
Allah ciptakan
syariat ini dan Allah utus Rasul-Nya adalah sebagai bukti kasih
sayang-Nnya kepada seluruh manusia. Allah berfirman: "Tidaklah Kami
mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (Al-Anbiya:
107)
Ibnu Abbas radliyallahu `anhu berkata tentang ayat
ini: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka Allah
tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun mendapat rahmat
dengan datangnya Rasul yaitu keselamatan dari adzab
di dunia, seperti ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu." (Tafsir Ibnu Katsir 3/222)
Oleh
karena itu ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam dalam keadaan beliau terusir dari kaumnya, dilempari
dengan batu di Thaif hingga berdarah kakinya, duduk di luar kota tanpa
kawan, bermunajat kepada Allah. Malaikat itu berkata: "Aku diutus Allah
untuk mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan
gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan." Maka Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Ya Allah, berilah hidayah pada
mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui." Melihat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam berdoa seperti itu, Jibril mengatakan:
"Maha benar Allah yang menamakanmu ra'ufur rahim." (lihat Nurul Yaqin
hal. 56)
Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh
manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya
apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau memilih
berdoa agar Allah memberikan hidayah.
Pernah suatu hari
beliau didatangi oleh Thufail Ad-Dausi. Dia berkata: "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kabilah Daus menentang dan menolak dakwah ini. Maka
doakanlah agar Allah menghancurkan mereka." Maka Rasulullah pun
menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Para shahabat yang ada
di situ berucap: "Binasalah Daus!" Ternyata Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam mengucapkan doa: "Ya Allah, berilah hidayah pada suku
Daus dan bawalah mereka kemari" (beliau mengucapkannya tiga kali). (HR.
Bukhari dan Muslim). Doa beliau ternyata maqbul. Suku Daus datang
berbondong-bondong kepada Nabi untuk masuk Islam. Demikian pula
diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah
radliyallahu `anhu bahwa dia berkata: Pernah dikatakan kepada Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam: "Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan
bagi musyrikin." Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab:
"Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai
rahmat." (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Hanya saja aku diutus sebagai
rahmat yang diberikan." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3 / 222). Maka Islam
adalah agama kasih sayang, dibawa oleh seorang penyayang dari Allah yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Negara Islam Mengapa
Takut? Kalau demikian kenyataannya mengapa kita mesti takut terhadap
munculnya negara Islam, negara yang mengayomi rakyat semesta dan membawa
bangsa kepada kemakmuran yang hakiki, yang memberi kesempatan kepada
rakyat non Islam untuk menjalankan agamanya sambil melihat kesempurnaan
syariat Islam sehingga suatu saat mereka akan masuk Islam tanpa paksaan.
Dan ini berarti rahmat yang lebih sempurna lagi bagi mereka.
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam melarang kaum Muslimin untuk mengganggu
orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang
kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka
mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti
atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah
orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul
mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada
kalian kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).
Demikianlah
warga negara non-Islam diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak
boleh dirampas hartanya atau dibunuh jiwanya dengan dhalim selama mereka
mentaati peraturan-peraturan negara Islam, walaupun kita sama-sama tahu
bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari kaum Muslimin, sebagaimana
ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu: "Rendahkanlah mereka tapi
jangan dhalimi mereka." (Fatawa 28 / 653)
Demikian pula
orang-orang non-Muslim yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian
damai. Seperti para pendatang dari negara asing yang tidak dalam
keadaan berperang (dengan Muslim) atau dalam kata lain terikat
perjanjian damai. Maka kita tidak boleh mengganggu, apalagi membunuh
mereka selama mereka mengikuti peraturan-peraturan negara Islam.
Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di negara Islam. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang mengganggu atau
mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir mu'ahhad (yaitu
terikat perjanjian):
"Ketahuilah barang siapa mendhalimi
seorang mu'ahad; atau mengurangi hak-haknya; atau membebaninya di luar
kemampuannya; atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa keridlaannya.
Maka aku akan menjadi penentangnya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dan
Baihaqi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 1 / 807).
Apalagi
membunuh seorang mu`ahad, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
lebih keras lagi mengancamnya: "Barangsiapa membunuh seorang mu'ahad,
maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal harumnya surga didapati
dari jarak 40 tahun perjalanan." (HR. Bukhari).
Oleh
karena itu para duta-duta asing atau tamu-tamu asing yang non-Muslim
tidak perlu khawatir masuk negara Islam dan tidak perlu takut berdirinya
negara Islam di bumi persada Indonesia ini karena Islam merupakan
rahmat untuk seluruh manusia.
Bahkan kalau pendatang
non-Muslim itu merupakan utusan, walaupun utusan itu dari negara kafir
yang sedang berperang dengan negara Islam sekali pun, mereka tidak perlu
takut karena Islam dengan rahmatnya tidak membolehkan menangkap,
menahan atau membunuh para utusan (yang diistilahkan dalam syari'at
dengan wufud).
Pernah suatu hari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam didatangi dua orang utusan dari Musailamah al-kadzab,
seorang nabi palsu yang memusuhi Rasulullah. Kemudian Beliau bersabda:
"Apakah kalian mau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?" Mereka
berkata: "Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah." maka
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: "Aku beriman
kepada Allah dan para rasul-Nya! Kalau saja aku membolehkan untuk
membunuh seorang utusan tentu akan aku bunuh kalian berdua!"
Bahkan
walaupun utusan kafir tersebut kemudian masuk Islam, Rasulullah tetap
memerintahkannya untuk kembali kepada kaum yang mengutusnya sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Rafi' sebagai berikut: Aku diutus oleh orang-orang
kafir Quraisy menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Ketika
aku melihat beliau, masuklah Islam ke dalam hatiku. Maka aku mengatakan
kepada beliau: "Wahai Rasulullah, demi Allah aku tidak akan kembali
kepada mereka selama-lamanya."
Maka Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya aku tidak akan melanggar
perjanjian dan tidak akan menahan para utusan. Maka kembalilah engkau!
Kalau pada dirimu tetap ada keimanan seperti sekarang ini maka
kembalilah engkau kemari." (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban,
Al-Hakim dan Ahmad. lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh
Al-Albani 6 / 316).
Dalam riwayat lain dikatakan:
"Sesungguhnya aku tidak melanggar janji dan tidak akan menangkap seorang
utusan." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Inilah Islam, inilah
keadilan. Tidak akan didapati kebijaksanaan yang seperti ini dalam agama
lain. Hanya saja orang-orang bodoh dan para ahli bid'ah merusak
gambaran yang indah ini dengan melanggarnya, atau dengan mengada-adakan
aturan-aturan baru (bid'ah) dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sendiri yang
mereka anggap baik dengan emosi dan hawa nafsunya. Yang akhirnya justru
merusak gambaran Islam dan membuat manusia takut kepadanya. Rahmat
Islam dalam Perang Demikian pula dalam peperangan, Agama Islam tidak
lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan
peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang boleh dibunuh dan
siapa yang tidak. Bolehkah merusak jasad musuh atau tidak, dan
seterusnya. Setiap melepas suatu pasukan untuk berperang Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberikan wasiat kepada mereka,
yang berisi nasihat dan peraturan peperangan. Di dalamnya kita akan
dapati rahmat dan kasih sayang. Simaklah wasiat beliau berikut ini:
Diriwayatkan
dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dari Aisyah radliyallahu `anha,
ia berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam jika
mengutus seseorang komandan yang membawa sebuah pasukan --besar atau
kecil-- beliau mewasiatkan kepada pribadinya untuk bertakwa kepada Allah
dan mewasiatkan untuk kaum muslimin dengan kebaikan.
Kemudian
bersabda: "Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah! Perangilah
orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan
perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan
membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin,
maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah
satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada
Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan
tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut
ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa
mereka ke tempat muhajirin (Madinah).
Kalau mereka
menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai
orang-orang arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka
bagian ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka
berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam)
maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai
orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta
tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah.
Jika
engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah ingin
meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi
jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika kalian melanggar
jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi
jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan
mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah
mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati
hukum Allah pada mereka atau tidak." (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab
Ta'mirul Imam no. 1731)
Di awal wasiatnya Beliau
memperingatkan untuk jangan mencuri, jangan ingkar janji, jangan merusak
jasad musuh, jangan membunuh anak-anak, dan seterusnya. Sebuah nasihat
yang merupakan kasih sayang Islam kepada seluruh manusia walaupun
terhadap orang kafir.
Kemudian Beliau menganjurkan untuk
memberikan pilihan kepada musuh. Apakah mereka akan masuk Islam atau
membayar jizyah yang berarti mereka akan selamat; atau tidak mau memilih
keduanya yang berarti perang. Ini merupakan kasih sayang yang sangat
besar, memberikan kesempatan kepada musuh untuk selamat dunia dan
akhirat. Kalau mereka memilih Islam berarti mereka selamat di dunia dan
di akhirat. kalau memilih jizyah berarti selamat di dunia. Sedangkan
kalau mereka tidak ingin selamat, maka barulah mereka diperangi.
Pantaskan?!
Selanjutnya Beliau menasihatkan dalam
memberikan keputusan terhadap musuh tidak boleh mengatasnamakan Allah.
Karena bisa jadi dia tidak tepat atau tidak mencocoki hukum Allah dalam
memutuskan. Wanita juga termasuk pihak yang tidak boleh dibunuh dalam
peperangan. Islam dengan rahmatnya tidakmembolehkan pembunuhan terhadap
wanita.
Pernah pada suatu hari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam berjalan bersama pasukannya dalam suatu peperangan.
Kemudian Beliau melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau
pun mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata mereka mengerumuni
seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan. Waktu itu pasukan
terdepan dipimpin oleh Khalid bin Walid. Maka Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam pun bersabda: "Berangkatlah engkau menemui Khalid dan
katakan kepadanya: Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau untuk
membunuh dzuriyah (wanita dan anak-anak, ed) dan pekerja / pegawai."
(HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: "Katakan pada Khalid jangan ia membunuh
wanita dan pekerja." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thahawi. Lihat
Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 / 314).
Dalam riwayat
yang lebih shahih dikatakan: "Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam melihat seorang wanita terbunuh dalam
suatu peperangan. Maka beliau pun mengingkari pembunuhan wanita dan
anak-anak." (Muttafaqun `alaihi)
Dari riwayat-riwayat ini
jelas bahwa wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh dalam peperangan.
Sedangkan pegawai atau pekerja yang dimaksud adalah warga sipil yang
tidak ikut dalam peperangan. Mereka ini juga tidak boleh dibunuh.
Demikianlah peraturan Islam, betapa indahnya peraturan tersebut. Kaum
muslimin sudah mengenal istilah "warga sipil" yang tidak boleh dibunuh
sejak turunnya Al-Qur'an ribuan tahun yang lalu. Inilah kasih-sayang
Islam yang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk kepada
musuhnya sekali pun.
Rahmat dalam Hukum Had
Termasuk
dalam hukum had dan qishas, kasih sayang Islam tidak pernah hilang. Di
samping hukum itu sendiri memang membawa rahmat, penerapannya pun tidak
sembarangan. Membutuhkan penyelidikan dan kepastian serta masih terkait
dengan tuntutan korban atau maafnya. Seperti hukum qishas, hukum seorang
yang membunuh adalah dibunuh pula. Hukum ini membawa rahmat kepada
seluruh kaum muslimin yaitu keamanan dan ketentraman. Bahkan hukum yang
sepintas terlihat akan membawa korban lebih banyak, ternyata bagi orang
yang cerdas akan terlihat bahwa sesungguhnya hukum ini justru menjaga
kehidupan. Allah berfirman : "Sesungguhnya pada hukum qishash ada
kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa."
(Al-Baqarah: 179)
Namun hukum ini pun terkait dengan
tuntutan keluarga korban. Jika mereka memaafkan maka tidak dilakukan
hukum bunuh melainkan membayar diat, semacam uang denda atau tebusan
senilai harga seratus ekor unta yang diberikan kepada keluarga korban.
Ini pun merupakan rahmat dan keringanan dari Allah untuk mereka
sebagaimana Allah katakan sendiri dalam ayat-Nya: "Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih."
(Al-Baqarah: 178)
Ini pun kalau benar-benar terbukti ia
membunuh dengan sengaja, kalau ternyata tidak sengaja maka tidak ada
qishas yang ada adalah diat. Bahkan kalau keluarga korban akan
menginfakkan tebusan tersebut kepada sipembunuh dan mema'afkannya,
berarti ia tidak perlu membayar diat.
Walaupun yang
dibunuh adalah seorang kafir mu'ahad yang terikat perjanjian, tetap
wajib bagi si pembunuh yang Muslim membayar diat kepada keluarga korban
serta memerdekakan seorang budak. Tetapi tidak ada qishas baginya. Allah
Subhanahu wa Ta`ala berfirman: "Dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak
sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia mukmin, (maka hendaklah
si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.
Dan
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
cara bertaubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana." (An-Nisa: 92)
Sedangkan hukum potong tangan
bagi pencuri atau hukum cambuk (bagi penzina yang belum menikah) dan
rajam (bagi penzina yang telah menikah) dan lain-lain merupakan
kejahatan yang jika sudah sampai kasusnya kepada pemerintah maka harus
ditegakkan hukum padanya. Inipun sesungguhnya merupakan rahmat bagi
seluruh kaum muslimin bahkan seluruh manusia.
Hukum potong
tangan bagi pencuri -misalnya-- membawa keamanan dan ketenangan bagi
seluruh rakyat. Hukum cambuk dan rajam bagi penzina membawa keselamatan
bagi seluruh manusia dari berbagai penyakit-penyakit kelamin disamping
menjaga keturunan dan nasab, agar tidak tercampur dan kacau.
Hukum-hukum
ini pun tidak begitu saja diterapkan, tetapi melalui proses dan
aturan-aturan yang jelas. Seperti pada hukum potong tangan, tidak semua
pencuri di potong tangannya. Jika ia mencuri di bawah tiga dirham, maka
ia tidak dipotong tangannya. Berarti ada jumlah tertentu yang
menyebabkan seorang pencuri mendapatkan hukuman potong tangan.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Jangan dipotong
tangan seorang pencuri kecuali pada pencurian seperempat dinar ke atas."
(muttafaqun 'alaihi. Dengan lafadh Muslim).
Sedangkan
dalam riwayat Bukhari dengan lafadh sebagai berikut: "Dipotong tangan
seorang pencuri pada pencurian seperempat dinar ke atas." (HR. Bukhari)
Seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar adalah duabelas
dirham. Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar yang juga dirkeluarkan oleh
bukhari dan muslim disebutkan bahwa Rasulullah memotong tangan seorang
pencuri yang mencuri sebuah tameng seharga tiga dirham: "Dari Ibnu Umar
radliyallahu `anhuma bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam memotong
tangan pada pencurian sebuah tameng seharga tiga dirham." (Muttafaqun
`alaihi)
Seperti kita katakan tadi bahwa hukum ini
dilaksanakan jika sudah sampai kasusnya pada pemerintah. Adapun jika
belum sampai kasusnya pada pemerintah, maka dianjurkan untuk saling
memaafkan dan tidak saling menuntut. Abu Majidah menceritakan: Pernah
pada suatu hari aku duduk bersama Abdullah bin Mas'ud radliyallahu
`anhu, maka beliau pun berkata: Aku ingat orang pertama yang dipotong
tangannya oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Waktu itu
didatangkan seorang pencuri kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam. Lalu beliau pun memerintahkan untuk dipotong tangannya. Aku
melihat wajah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sepertinya
memendam kekecewaan. Maka para shahabat pun berkata: "Wahai Rasulullah,
sepertinya engkau tidak suka orang itu dipotong tangannya?" Maka beliau
pun bersabda: "Apa yang menghalangiku untuk memotongnya?" Kemudian
beliau bersabda: "Janganlah kalian menjadi pendukung-pendukung setan
terhadap saudaramu! Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang imam jika
telah sampai kepadanya hukum had kecuali harus menegakkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan cinta pada pemaaf. Maka saling
memaafkanlah kalian dan saling memaklumi. Bukankah kalian suka kalau
Allah mengampuni kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Baihaqi. Lihat Silsilah Al-Ahadits
As-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah 4 / 181).
Demikianlah
kasih sayang Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang diutus oleh
Allah yang Maha Penyayang untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh
alam. Kemudian mengenai hukum cambuk dan hukum rajam bagi para pezina.
Apakah ini kalian anggap menghalangi kebebasanmu dalam bergaul ? Kalau
kalian cerdas dan tidak sempit pandangan, kalian akan melihat bahwa
hukum ini menjaga dan melindungi istrimu, anak perempuanmu, bibimu,
saudara perempuanmu dan seterusnya. Bukankah ini rahmat dan kebaikan
bagimu? Pernah seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam meminta ijin untuk berzina. Maka dengan sabar Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menerangkan kepadanya cara berfikir yang
benar: "Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada ibumu?" Anak itu
menjawab: " Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku tidak akan ridla."
"Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada istrimu?" Anak muda itu
menjawab: "Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku tidak akan ridla."
Demikian seterusnya Beliau menanyakan bagaimana kalau terjadi perzinaan
itu pada keluarganya, anak perempuannya, kakak perempuannya, bibinya,
ternyata dia tidak ridla. Maka beliaupun bersabda: "Kalau begitu orang
lain pun tidak ridla perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka,
istri-istri mereka, anak-anak perempuan mereka, saudara-saudara
perempuan mereka, atau pun bibi-bibi mereka."
Inilah
hikmah ditegakkannya hukum bagi para pezina dengan cambuk atau rajam.
Menjaga istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, ibu-ibu kita,
saudara-saudara perempuan kita, bibi-bibi kita, dan seterusnya. Di
samping itu juga penerapannya tidak sembarangan, harus didatangkan empat
saksi untuk ditegakkannya hukum ini. Dan saksi-saksi itu harus
mengetahui betul kejadiannya. Bahkan harus yakin betul kalau "timba
telah masuk ke dalam sumurnya". Adapun dugaan, prasangka, atau
melihatnya berpelukan, berciuman dan lain-lain belum bisa diterima
sebagai saksi sampai ia yakin betul bahwa "timba telah masuk ke dalam
sumurnya".
Empat saksi dalam keadaan yang seperti ini
sangat susah didapat. Keadaan seperti ini tidak akan didapat kecuali
pada beberapa kemungkinan: Kemungkinan pertama adalah seorang yang
datang mengakui bahwa dirinya telah berzina. Ini pun Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam berusaha untuk memberikan kesempatan kalau
dia mau mencabut ucapannya kembali sebagaimana dalam riwayat berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa datang seseorang
dari kaum Muslimin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam,
sedang beliau berada di masjid. Orang itu memanggil Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah
berzina." Rasulullah pun memalingkan wajahnya. Kemudian orang itu
bergeser ke hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sambil
berkata kembali: "Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina."
Beliau
pun berpaling kembali ke arah lain. Dan orang itu pun kembali mengikuti
ke hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan
mengucapkan kembali ucapannya, demikian sampai empat kali. Setelah empat
kali orang itu mempersaksikan atas dirinya dengan zina, Rasulullah
memanggilnya dan bersabda: "Apakah engkau gila?" Orang itu menjawab:
"Tidak." Beliau berkata lagi: "Apakah engkau seorang yang muhsan ?"
Orang itu menjawab: "Ya." Maka Nabi pun memerintahkan kepada kaum
Muslimin: "Pergilah kalian membawa orang ini dan rajamlah ia." (HR.
Muttafaqun `alaih)
Dalam riwayat Bukhari, orang tersebut
ketika dirajam sempat lari. Yaitu pada saat mulai terasa batu-batu itu
menyakiti tubuhnya. Namun orang-orang mengejarnya dan melanjutkan
hukuman rajam sampai matinya. Ketika disampaikan kejadian larinya orang
tersebut, Rasulullah bersabda: "Tidakkah kalian biarkan orang itu lari.
Barangkali orang itu bertaubat kepada Allah dan Allah menerima
taubatnya." Dalam riwayat lain, beliau bersabda: "Mengapa kalian tidak
membawanya kembali kemari." (HR. Abu Dawud)
Oleh karena
itu, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad menyatakan: Bolehnya seorang yang sudah
mengaku berzina mencabut kembali pernyataann ya dan jika orang
tersebut lari tidak dikejar, semoga dia mau ruju' dan mencabut kembali
ucapannya. Sekali lagi ini adalah khusus bagi yang datang mempersaksikan
dirinya bahwa ia telah berzina. Inilah kasih sayang Islam kepada
manusia. Tidak sekejam apa yang digambarkan oleh orang-orang kafir dan
munafiqin
Kemungkinan kedua adalah seorang yang sangat
biadab, berzina di tempat terbuka dan menjadi tontonan manusia tanpa
merasa malu apalagi merasa berdosa. Atau bahkan -- maaf-maaf -- menjadi
pemain dalam adegan-adegan porno didepan para penonton yang membayarnya.
Sungguh fitrah kita pun ingin merajam orang yang seperti ini sebelum
kita mengerti hukum rajam. Atau kemungkinan ketiga terbukti dengan
kehamilan. Berkata Umar bin Khattab dalam khutbahnya: "…Sesungguhnya
rajam itu adalah hak di dalam kitab Allah bagi orang yang berzina jika
ia seorang yang muhsan, baik ia laki-laki maupun perempuan jika telah
tegak bukti-bukti (saksi-saksi). Atau adanya kehamilan, atau ia
mempersaksikan dirinya dengan zina." (Muttafaqun `alaih). RAHMAT KEPADA
HEWAN Kepada hewan sekali pun Islam tetap mengajarkan untuk memberikan
kasih sayangnya. Dalam memelihara kita harus memberinya makan yang
cukup. Dalam menunggangi kita dilarang memberikan beban yang terlalu
berat. Dalam menyembelih kita harus menggunakan pisau yang tajam dan di
tempat yang langsung mematikan, yaitu di lehernya. Dan seterusnya.
Pernah
suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memasuki
perkampungan kaum Anshar. Kemudian beliau masuk ke suatu tembok kebun
salah seorang dari mereka. Tiba-tiba beliau melihat seekor unta yang
kurus. Ketika melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, unta itu
menangis, merintih dan meneteskan air mata. Maka beliau pun
mendekatinya lalu mengusap perutnya sampai ke punuknya dan ekornya. Unta
itu pun tenang kembali. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Siapa penggembala unta ini?" Atau dalam riwayat lain
beliau bersabda: "Siapa pemilik unta ini?" Maka datanglah seorang pemuda
dari Anshar, kemudian berkata: "Itu milikku ya Rasulullah." Maka
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berkata: "Tidakkah engkau
bertakwa kepada Allah dalam memelihara ternak yang telah Allah berikan
kepadamu itu? Sesungguhnya ia mengeluh kepadaku bahwa engkau melaparkan
dan melelahkannya."
Yakni beliau menegur si pemilik unta
tersebut karena dia kurang dalam memberi makan, tetapi mempekerjakannya
dengan beban yang terlalu berat. Maka beliau menegurnya dengan ucapan:
"Tidakkah kamu takut kepada Allah." Ini mengandung ancaman bagi orang
yang menyiksa hewan peliharaannya. Bukankah ini suatu rahmat dan kasih
sayang yang besar.
PENUTUP
Demikianlah apa
yang bisa saya tulis tentang kasih sayang dan rahmat Islam kepada
seluruh manusia. Mudah-mudahan Allah menambahkan kepada kita dan para
pembaca sekalian keilmuan dan keimanan. Amin. Wallahu a`lam bis-shawab.
MARAJI': 1). Tafsirul Adhim, Ibnu Katsir, cet. Darus Salam, tahun 1413 H / 1992 M.
2). Fathul Bari, Ibnu Hajar, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1992 M.
3). Shahih Muslim dengan Syarah Imam Nawawi, Muslim bin Hajjaj, cet. Darul Ma'rifah, tahun 1414 H / 1994 M.
4). Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh Al-Albani, cet. Maktabah Al-Ma'arif, tahun 1415 H / 1995 M.
5). Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Imam Ash-Shan`ani, cet. Darul Kitab, th. 1414 H / 1994 M.
6). Al-Hilm, Al-Hafidh Ibnu Abi Dunya dengan tahqiq Majdi Sayyid Ibrahim, cet. Maktabatul Qur'an, tanpa tahun.
7). Nurul Yaqin, Syaikh Muhammad Al-Khudari, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1994.
8). An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Ibnu Atsir, cet. Darul Fikr, tahun 1399 H / 1979.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed, judul asli Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam,. Url sumber
http://www.geocities.com/dmgto/mabhats201/rahmatislam.htm
Sebuah Cerita Berjuta Makna