Wednesday 5 March 2014

Wilayah Kerja Hipnotis (4 Gelombang Otak)



Sekian lama baru inget ternyata punya hutang bagi para pembaca untuk sharing tentang hipnotis hehehe...
Oke langsung saja saya akan memberitahukan kepada kalian wilayah kerja hipnotis, yg dimaksud wilayah di sini adalah 4 fase gelombang otak manusia. Ya, manusia memiliki 4 gelombang otak (betha, alpha, tetha, delta) yang memliki karakteristik berbeda-beda pada tiap fasenya, bingung ? Simak penjelasan simple saya tentang 4 gelombang otak manusia, apa yg terjadi di setiap fase, dan pengaruhnya bagi kehidupan.


Lihat gambar gelombang otak dibawah ini, perhatikan dengan seksama !

Frekuensi gelombang otak yang terekam oleh EEG


Sekilas apa yg dapat kalian tangkap dari perbedaan ke-4 gelombang otak tersebut ?
Pasti bagi kalian yg baru mengenal hipnotis langsung melihat perbedaan terletak pada frekuensi dan kerapatan yg ada pada tiap gelombang. Betul sekali kalian :)

Semakin besar frekuensinya maka kerapatan gelombang otak juga semakin rapat, begitupun sebaliknya semakin kecil frekuensinya maka gelombang otak semakin renggang. Mengapa demikian ?

Setiap gelombang otak menggambarkan tingkat kesadaran manusia, gelombang otak betha menandakan orang dalam kondisi aware semakin turun ke gelombang delta maka tingkat kesadaran manusia juga menurun namun tetap aware hanya skala intensitas kesadarannya yang berkurang di pikiran sadar. Karena sesungguhnya pikiran bawah sadar akan tetap aware pada lingkungan sekitar.

Yuk kita bahas satu per satu tentang gelombang otak dengan bahasa yang mudah dipahami, dimulai dari gelombang betha, alpha, tetha, dan delta. Cekidot yaaa....

Gelombang Otak Betha
Gelombang otak betha merupakan gelombang otak yang terjadi ketika kita berada kondisi aware, dimana otak kita sangat analitis terhadap setiap infromasi yang masuk ke dalam otak. Pada kondisi ini otak kita berusaha menganalisa setiap informasi yang mana baik untuk disimpan dalam bank memory atau yang tidak perlu disimpan.
Karakteristik:
Berada pada frekuensi 13-30 Hz
Kerapatan frekuensinya sangat rapat
Kondisi terjaga: tegang, konsentrasi tinggi
Aktivitas: Mengerjakan proyek rumit, Olahraga, Berdebat, dll


Gelombang Otak Alpha
Gelombang otak alpha merupakan gelombang otak yang terjadi ketika kita berada kondisi antara sadar dan tidak sadar, biasa disebut kondisi trance dimana pikiran dan tubuh kita merasa sangat rileks dan santai namun fokus. Pada kondisi ini sangat cocok untuk memberikan sugesti positif bagi seseorang.
Karakteristik:
Berada pada frekuensi 7-13 Hz
Kerapatan frekuensinya agak renggang dibanding betha
Kondisi terjaga: waspada tapi rileks dan santai, tidur ayam
Aktivitas: Memecahkan masalah, belajar ideal, menulis, membaca, menonton tv, bermain games, dll


Gelombang Otak Tetha
Gelombang otak tetha merupakan gelombang otak yang terjadi ketika pikiran dan tubuh benar-benar merasakan rileksasi, santai, dan tenang. Pada kondisi ini adalah saat yang tepat untuk melakukan hypnotherapy (terapi psikis & mental dengan metode hipnotis)
Karakteristik:
Berada pada frekuensi 3,5 - 7 Hz
Kerapatan frekuensinya renggang
Kondisi setengah terjaga: santai, mengantuk, tidur mengalami mimpi
Aktivitas: Mencari ide kreatif, melamun, dll


Gelombang Otak Delta
Gelombang otak delta merupakan gelombang otak yang terjadi ketika pikiran dan tubuh benar-benar dalam kondisi full relaks sehingga menghiraukan kondisi sekitar. Pada kondisi ini tubuh melakukan self healing.
Karakteristik:
Berada pada frekuensi 0,5 - 3 Hz
Kerapatan frekuensinya sangat renggang
Kondisi tidak terjaga: sensor indrawi dengan luar terputus
Aktivitas: tidur nyenyak tanpa mimpi (tidur kebo), koma


Saya rasa penjelasan singkat di atas dapat dicerna oleh orang awam, dan sekarang saya akan memberikan pertanyaan terkait gelombang otak terhadap keseharian kita yang pasti kalian lakukan setiap hari tanpa kalian sadari.

1. Pernahkah kalian memikirkan mekanisme urutan ketika kalian mandi? misal: mengambil handuk, menakar banyaknya pasta gigi, sabun, atau shampo yg digunakan?

2. Ketika pertama kali belajar mengendarai sepeda/motor/mobil pasti kagok dan kaku, benar? Tapi setelah mahir dan pandai semua terjadi begitu saja kan? Mengapa demikian?

3. Pernahkah ketika kalian sedang membaca/bermain games dan diminta oleh orang tua untuk melakuan sesuatu namun kalian tetap asyik fokus dengan apa yg kalian kerjakan pada saat itu dan menghiraukan semua perintah yg diberikan pada kalian?

4. Kata kebanyakan orang, belajar pada jam 2-3 pagi atau mendekati subuh lebih mudah masuk dan cepat hafal. Apakah kalian sering melakukan hal itu? Mengapa bisa demikian?

5. Saat kalian tertidur sangat nyenyak, kemudian ada seseorang yang membangunkan anda dan membuat anda terkaget pada saat bangun anda akan merasa pusing? Kenapa bisa pusing?


Temukan jawabannya di postingan selanjutnya
Kejadian sehari-hari yang terlewatkan oleh pikiran sadar kita

Sumber: Pengalaman pribadi

Sebuah Cerita Berjuta Makna

Jangan Sepelekan Dosa Kecil



Sudah maklum dikalangan ulama dan kaum muslimin bahwa dosa itu terbagi menjadi dua macam; kabair (dosa-dosa besar) dan shaghair (dosa-dosa kecil). Walau demikian ada juga sebagian ulama yang tidak melihat adanya pembagian seperti ini, namun menganggap bahwa seluruh kemaksiatan dan penyelewangan dari jalan Allah adalah dosa besar karena merupakan keberanian dan kelancangan dihadapan Allah. Orang yang mengatakan demikian karena melihat betapa besarnya hak Allah atas hamba-hamba-Nya. Ada diantara ulama yang mengatakan: "Suatu dosa dianggap kecil hanya lantaran jika dibandingkan dengan dosa lain yang lebih besar, jika tidak tentulah semua dosa itu besar adanya. "Namun pendapat ini lemah sebab Allah sendiri telah membagi dosa dalam dua bagian yaitu fawahisy/ kabair dan al lamam/shaghair sebagaimana firmanNya:

"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil (QS An Najm: 32)

Jadi pendapat yang benar -wallahu a'lam - adalah bahwa dosa itu terbagi menjadi dua;besar dan kecil. Dan kabair tidaklah terbatas dengan suatu bilangan tertentu namun apa saja yang dilarang oleh Allah dan disertai dengan ancaman Neraka, murka, laknat, adzab atau berhadapan dengan sanksi hadd (hukuman berat yang telah ditentukan jenisnya) di dunia maka itulah kabair, dan yang yang selain demikain maka tergolong shaghair(ithaf as saadah al muttaqin 10/ hal 615-616).

Berubahnya dosa kecil menjadi dosa besar

Imam Ibnul Qayyim pernah berkata: "Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedang dosa kecil biasanya tidak demikian. Bahkan yang biasa adalah bahwa dosa kecil sering disertai dengan kurangnya rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi (tahdzib madarij as salikin hal 185-186). Dengan demikian maka dosa kecil dapat berubah menjadi besar dengan adanya faktor-faktor yang memperbesarnya, yaitu:
  • Terus-menerus dalam melakukannya
    Hal ini karena pengaruh kerasnya jiwa dan adanya raan (bercak) didalam hati, maka dari sini ada qaul mengatakan: "Tak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tak ada dosa besar jika diiringi istighfar. "Ucapan ini dinisbatkan kepada Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu berdasarkan atsar yang saling menguatkan satu dengan yang lain (ithaf as-sa'adah al-muttaqin 10/687).
  • Anggapan remeh atas dosa tersebut
    Rasulullah saw telah bersabda:
    "Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya." (HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath). Rijal dalam dua riwayat ini shahih semuanya kecuali Imran bin Dawir Al Qaththan namun dia dapat dipercaya, demikian kata Imam Al Haitsami dalam Majma' Az Zawaid 10/192.
    Ibnu Mas'ud Radhiallaahu 'anhu pernah berkata: "Seorang mukmin melihat suatu dosa seakan-akan ia duduk dibawah gunung dan takut jikalau gunung itu menimpanya dan orang fajir (pendosa) melihat dosa bagaikan lalat yang lewat didepan hidungnya seraya berkata "begini", Ibnu Syihab menafsirkan: yakni berisyarat (mengebutkan) tangannya didepan hidung untuk mengusir lalat.
    Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu 'anhu pernah berkata kepada sebagian tabi'in: "Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi saw kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. "(riwayat Al Bukhari). Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar. Dan dengan sebab ini pula maka suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan keilmuan pelakunya (ithaf as-sa'adah al-muttaqin 10/690).
    Tapi meski bagaimanapun seseorang seharusnya dituntut untuk menganggap besar suatu dosa, sebab jika tidak demikian maka tidak akan lahir rasa penyesalan. Adapun jika menganggap besar atas suatu dosa maka ketika melakukannya akan disertai dengan rasa sesal. Ibarat orang yang menganggap uang receh tak bernilai, maka ketika kehilangan ia tak akan bersedih dan menyesalinya. Namun ketika yang hilang adalah dinar (koin emas) maka tentu ia akan sangat menyesal dan kehilangannya merupakan masalah yang besar.
    Perasaan menganggap besar terhadap dosa muncul karena tiga faktor:
    - Menganggap besar atas suatu perintah (apapun ia).
    - Menganggap besar Dzat atau orang yang memerintah.
    - Keyakinan akan benarnya balasan.
  • Merasa senang dan bangga dengan dosa
    Seperti seorang pelaku dosa berkata: "Andaikan saja engkau tahu bagaimana aku mempermalukan si fulan, dan bagaimana aku membuka aib dan keburukannya sehingga nampak jelas semua!" Atau misal yang lain: "Seandainya kamu melihat bagaimana aku memukul dia dan menghinakannya!"
    Orang ini sudah begitu lupa dengan kejelekan dosa sehingga malah senang tatkala dapat melampiaskan keinginan-nya yang terlarang. Dan perasaan senang terhadap suatu kemaksiatan menunjukkan adanya keinginan untuk melakukannya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuannya dengan Dzat yang ia maksiati, buruknya akibat dan besarnya bahaya kemaksiatan. Rasa senang dengan dosa telah menutupi semua itu, dan senang dengan suatu dosa lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri. Sebab. orang yang berbuat suatu dosa namun sebenarnya tidak senang dengan perbuatan itu maka ia akan segera menghentikannya. Sedangkan rasa senang dengan dosa akan menimbulkan keinginan untuk terus melakukannya.
    Jika kealpaan dan kelalaian semacam ini telah begitu parah maka akan menyeretnya untuk melakukan dosa tersebut secara terus menerus, merasa tenang dengan perbuatan salah dan bertekad untuk terus melakukannya. Dan ini adalah jenis lain dari dosa yang jauh lebih berbahaya daripada dosa yang ia lakukan sebelumnya.
  • Meremehkan "tutup dosa" dan kesantunan Allah
    Yaitu ketika pelaku dosa kecil terbuai dengan kemurahan Allah dalam menutupi dosa. Ia tidak sadar bahwa itu adalah penangguhan dari Allah untuk-nya. Bahkan ia menyangka bahwa Allah sangat mengasihinya dan memberi perlakuan lain kepadanya, sebagaimana yang Allah kabarkan kepada kita tentang para pemuka agama kaum Yahudi yang berkata: "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasihnya." Juga firman Allah:
    "Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: "Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu" Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Al-Mujadilah: 8)
  • Membongkar dan menceritakan dosa yang telah ditutupi oleh Allah
    Seseorang yang melakukan dosa kecil dan telah ditutupi oleh Allah namun ia sendiri malah kemudian menampakkan dan menceritakannya maka dosa kecil itu justru menjadi berlipat karena telah tergabung beberapa dosa. Ia telah mengundang orang untuk mendengarkan dosa yang ia kerjakan, dan bisa jadi akan memancing orang yang mendengar untuk ikut melakukannya. Maka dosa yang tadinya kecil dengan sebab ini bisa berubah menjadi lebih besar.
    Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
    " Seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam dosa (al mujahirun), termasuk terang-terangan dalam dosa ialah seorang hamba yang melakukan dosa dimalam hari lalu Allah menutupinya ketika pagi, namun ia berkata: "Wahai fulan aku tadi malam telah melakukan perbuatan begini dan begini!" (HR Muslim, kitabuz zuhd)
  • Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal keshalihannya
    Yang demikian apabila ia melakukan dosa itu dengan sengaja, disertai kesombongan atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dengan yang lain maka dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Tetapi lain halnya jika melakukannya karena kesalahan dalam ijtihad, marah atau yang semisalnya maka tentunya itu dimaafkan.
    (Dari Al-'Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif)

Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=166635063380656

 Sebuah Cerita Berjuta Makna

Mengapa Do'a Kita Belum Dikabulkan ?



Ibrahim bin Adham pernah ditanya, “Kami telah berdoa kepada Allah, tapi Allah tidak mengabulkan permintaan kami?”

Beliau menjawab ;

Kalian telah berilmu tentang Allah, tapi kalian tidak taat pada-Nya

Kalian membaca Al Quran, tapi tidak mengamalkannya.

Kalian tahu kejahatan syaithan, tapi kalian menyepakatinya.

Kalian mengaku cinta kepada Rasulullah, tapi kalian tinggalkan sunnahnya.

Kalian bilang kalian ingin masuk surga, tapi tidak berusaha memperolehnya.

Kalian mengklaim kalian takut kepada neraka, namun kalian tidak taat kepada Allah.

Kalian bilang kematian sungguh telah dekat, tapi kalian tidak mempersiapkannya.

Kalian sibuk dengan kesalahan orang lain, namun tidak merenungkan kesalahan kalian.

Kalian makan rezeki yang Allah anugerahkan, tapi kalian tidak bersyukur.

Kalian menguburkan jasad orang yang mati, tapi tidak pernah menjadikannya sebuah perenungan.

[ Al-Khushoo’ fee As-Salaat oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali, dengan tahqiq Syaikh Ali Hasan ]

Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=190071984339598

 Sebuah Cerita Berjuta Makna

Tuntunan Bagi yang Mendengar Adzan



Ada beberapa perkara yang semestinya dilakukan oleh yang mendengar adzan.

Pertama: Ia mengucapkan semisal yang diucapkan muadzin (menjawab adzan), namun tidak dengan suara keras seperti suaranya muadzin, karena muadzin menyeru/memberitahu orang lain sedangkan dia hanya menjawab muadzin. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/83)

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ 
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846) 
Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat: 
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ 

disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat:
لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ 

Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka salah seorang dari kalian mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dikatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alash Shalah”, maka dikatakan, “La Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alal Falah”, maka dikatakan, “La Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka si pendengar pun mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Di akhirnya muadzin berkata, “La Ilaaha illallah”, ia pun mengatakan, “La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim no. 848)

Namun boleh juga dia menjawabnya sebagaimana lafadz muadzin dengan hay’alatani
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ 

berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah kita sebutkan di atas. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullahu menyatakan, “Ini termasuk ikhtilaf atau perbedaan yang mubah. Bila seseorang menghendaki maka ia mengucapkan sebagaimana ucapan muadzin, dan kalau mau ia mengucapkan sebagaimana dalam riwayat Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan1 radhiyallahu ‘anhuma. Yang mana saja ia ucapkan, maka ia benar.” (Al-Ausath, 4/30)

Jawaban Ketika Muadzin Berkata dalam Adzan Subuh “Ash-Shalatu Khairun minan Naum” 
Lahiriah dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ 
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin,” adalah kita mengucapkan kalimat yang sama dengan muadzin, “Ash-Shalatu khairun minan naum.” Inilah pendapat yang shahih. Adapun menjawabnya dengan:
صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ
Artinya: Engkau benar dan engkau telah berbuat baik, adalah pendapat yang lemah tidak bersandar dengan dalil. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/92)

Ganjaran Surga bagi yang Menjawab Adzan dengan Yakin
Siapa yang menjawab adzan dengan meyakini apa yang diucapkannya maka dia mendapat janji surga dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ بِلاَلٌ يُنَادِي، فَلَمَّا سَكَتَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ هَذَا يَقِيْنًا دَخَلَ اْلَجّنَّةَ 

Pernah ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bilal bangkit untuk menyerukan adzan. Tatkala Bilal diam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mengucapkan seperti ucapannya muadzin disertai dengan keyakinan maka ia pasti masuk surga.” (HR. An-Nasa’i no. 674, dihasankan Al-Imam Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa’i)

Hukum Menjawab Adzan
Tentang hukum menjawab adzan ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian Hanafiyyah, ahlu zahir, Ibnu Wahb, dan yang lainnya berpendapat wajib menjawab adzan bagi yang mendengar adzan, dengan mengambil lahiriah hadits yang datang dengan lafadz perintah, sedangkan perintah menunjukkan wajib. Adapun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, tidak wajib, dengan dalil hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwasanya:

سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: عَلَى الْفِطْرَةِ. ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خَرَجْتَ مِنَ الناَّرِ

(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah mendengar seseorang yang adzan mengatakan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Rasulullah menjawab, “Dia di atas fithrah.” Kemudian muadzin itu berkata, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah. Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Rasulullah berkata, “Engkau keluar dari neraka.” (HR. Muslim no. 845)
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ucapan yang berbeda dengan muadzin, berarti mengikuti ucapan muadzin tidaklah wajib. 

Dalil lainnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik ibnul Huwairits dan teman-temannya :
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ 
“Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan untuk kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Hendaklah orang lain yang mendengarnya mengikuti adzan tersebut.” Seandainya menjawab adzan itu wajib niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menunda keterangannya dari waktu yang dibutuhkan. Karena, ketika itu beliau tengah memberikan pengajaran kepada Malik dan teman-temannya. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 2/195, Asy-Syarhul Mumti’, 2/82,83)

Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Al-Muwaththa’ (no. 236), meriwayatkan bahwa Tsa’labah ibnu Abi Malik Al-Qurazhi menyatakan mereka dulunya di zaman ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengerjakan shalat pada hari Jum’at hingga Umar keluar dari rumahnya masuk ke masjid. Bila Umar telah masuk masjid dan duduk di atas mimbar, muadzin pun mengumandangkan adzan. Kata Tsa’labah, “Kami duduk sambil berbincang-bincang. Ketika muadzin telah selesai dari adzannya dan Umar berdiri untuk berkhutbah, kami pun diam mendengarkan. Tak ada seorang dari kami yang berbicara.” 

Seandainya menjawab adzan itu wajib niscaya mereka akan mengikuti ucapan muadzin dan tidak berbicara yang lain. 

Demikian juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d rahimahullahu, dari Musa ibnu Thalhah ibnu Ubaidullah, ia berkata, “Aku melihat Utsman ibnu Affan radhiyallahu ‘anhu berbincang-bincang dengan orang-orang menanyakan dan meminta informasi dari mereka tentang harga dan berita-berita lainnya, padahal ketika itu muadzin sedang menyerukan adzan.” (Sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, Ats-Tsamar 1/180)

Pendapat jumhur inilah yang kami pilih, wallahu ta’ala a‘lam. Akan tetapi yang perlu kita camkan walaupun hukumnya sunnah bukan berarti ketika diserukan adzan –tanpa ada kepentingan ataupun hajat– kemudian ditinggalkan begitu saja dan tidak diamalkan dari menjawabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, wallahul musta’an. (Syarhu Ma’anil Atsar 1/188-189, Al-Muhalla 2/184, Bada’iush Shana’i 1/486, Subulus Salam 2/62, Nailul Authar 1/511) 

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sunnah menjawab adzan ini berlaku bagi orang yang di atas thaharah, bagi yang berhadats, orang junub, wanita haid, dan selain mereka, selama tidak ada penghalang untuk menjawabnya, seperti sedang menunaikan hajat di WC, sedang berhubungan intim dengan istrinya, atau sedang mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj 4/309 dan Al-Majmu’ 3/125)

Faedah 
“Zikir muqayyad memutuskan zikir muthlaq”, walaupun dalam posisi zikir muthlaq tersebut lebih afdal daripada zikir muqayyad. Yang dimaksud zikir muqayyad adalah zikir yang waktunya khusus/tertentu, sedangkan zikir muthlaq tidak ada penentuan waktunya. Sehingga bila engkau mendengar muadzin sementara engkau sedang membaca Al-Qur’an maka yang utama engkau mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin, walaupun engkau harus berhenti dari membaca Al-Qur’an. Karena menjawab adzan ini merupakan zikir muqayyad dengan waktu yang khusus, sedangkan membaca Al-Qur’an tidak memiliki waktu khusus, kapan engkau mau, engkau bisa membacanya2. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, bab Al-Adzan, Mas’alah: Wa Yustahabbu liman Sami’al Muadzdzin An Yaqula kama Yaqulu) 

Tidak dibolehkan menjamak/mengumpulkan antara membaca Al-Qur’an dengan menjawab adzan. Karena kalau kita membaca Al-Qur’an, kita akan terlalaikan dari mendengar adzan. Sebaliknya bila kita mengikuti ucapannya muadzin, kita terlalaikan dari membaca Al-Qur’an. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/196,197)

Menjawab Adzan Bagi Seseorang Yang Sedang Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Al-Ikhtiyarat (hal. 39) memandang, bagi seorang yang sedang shalat ketika mendengar adzan untuk menjawabnya karena keumuman perintah yang ada di dalam hadits. Juga, menjawab adzan muadzin termasuk zikir yang tidak bertentangan dengan shalat. 

Akan tetapi pendapat yang masyhur dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang lainnya adalah ia tidak menjawab adzan yang didengarnya. Inilah pendapat yang shahih. Karena adzan merupakan zikir panjang yang dapat membuat orang yang shalat tersibukkan dari shalatnya. Sementara dalam shalat ada kesibukan tersendiri, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
إِنَّ فيِ الصَّلاَةِ لَشُغُلاً
“Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan.” (HR. Al-Bukhari no. 1199 dan Muslim no. 1201) 
Orang yang sedang shalat disibukkan dengan zikir-zikir shalat. 

Beda halnya zikir yang pendek, cuma satu kalimat, misalnya mengucapkan alhamdulillah ketika bersin dalam keadaan ia sedang shalat. Sementara adzan terdiri dari banyak kalimat, yang jelas akan memutus konsentrasi seseorang dari shalatnya karena ia harus diam mendengarkan apa yang diucapkan muadzin untuk kemudian diikutinya. Padahal bila ia shalat bersama imam, tidak sepantasnya ia diam mendengar kecuali terhadap bacaan imam saja. Sehingga pendapat yang shahih adalah orang yang sedang shalat tidak menjawab adzan. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, bab Al-Adzan, Mas’alah: Wa Yustahabbu liman Sami’al Muadzdzin An Yaqula kama Yaqulu; Asy-Syarhul Mumti’, 2/84)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Madzhab kami yang masyhur adalah dibenci bagi orang shalat mengikuti (menjawab) adzan, sama saja baik shalatnya fardhu ataukah nafilah (sunnah). Demikian pendapat sekelompok salaf. Al-Imam Malik rahimahullahu memiliki tiga pendapat/riwayat dalam masalah ini, salah satunya adalah ia mengikuti muadzin. Pendapat keduanya adalah ia mengikuti/menjawab saat adzan hanya dalam shalat nafilah, namun tidak boleh dalam shalat fardhu.” (Al-Majmu’, 3/127)

Bila Terdengar Beberapa Adzan Dari Beberapa Masjid
Bila terdengar adzan dari beberapa masjid maka adzan manakah yang kita jawab? 

Hadits dalam masalah menjawab adzan menyebutkan secara mutlak, “Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” Tidak ada pembatasan muadzin yang pertama atau muadzin yang kesekian, atau muadzin di masjid yang dekat dengan rumah kalian. Berarti menjawab adzan ini berlaku untuk semua adzan yang didengar. Misalnya muadzin di satu masjid adzan, kita menjawabnya sampai selesai adzan tersebut. Lalu terdengar adzan lagi dari masjid yang lain, kita jawab lagi sampai selesai. Demikian seterusnya. Akan tetapi bila adzan-adzan tersebut saling bersusulan (bersahut-sahutan) maka kita meneruskan untuk menjawab adzan yang pertama kali kita jawab sebelum terdengar adzan yang lain. Namun bila ternyata adzan yang belakangan lebih keras dan lebih jelas sehingga adzan yang pertama kita dengar terkadang tertutupi (tidak terdengar), maka kita mengikuti adzan yang kedua. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/198-199)

Hukum Berbicara Di Sela-Sela Menjawab Adzan 
Tidak ada larangan berbicara di sela-sela menjawab adzan, namun lebih utama ia diam mendengarkan dan menjawabnya. Beda halnya bila ia sedang membaca Al-Qur’an, ia tidak boleh menjawab adzan di sela-sela bacaannya sehingga tercampur antara suatu zikir yang bukan bagian dari Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Yang semestinya, ia menghentikan bacaan Al-Qur’annya untuk menjawab adzan. (Fatwa Asy-Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman rahimahullahu, seorang alim dari negeri Najd, Ad-Durarus Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah 4/213, 214). 

Kedua: Perkara berikutnya yang disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan adalah bila selesai menjawab adzan, ia bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalil hadits Abdullah ibnu Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma. Ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِي الْوَسِيْلَةَ، فَإِنهَّاَ مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ وَأَرْجُوْا أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ 

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku, karena siapa yang bershalawat untukku niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian ia meminta kepada Allah al-wasilah atasku, karena al-wasilah ini merupakan sebuah tempat/kedudukan di surga, di mana tidak pantas tempat tersebut dimiliki kecuali untuk seseorang dari hamba Allah dan aku berharap, akulah orangnya. Siapa yang memintakan al-wasilah untukku maka ia pasti beroleh syafaat.” (HR. Muslim no. 847) 
Ada beberapa lafadz shalawat, di antaranya yang paling ringkas adalah:

اللُّهَمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Berilah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Sebagaimana Engkau bershalawat dan memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”3

Adapun yang kita dapati hari ini berupa menyuarakan shalawat yang dilakukan oleh muadzin lewat mikrofon sebelum maupun setelah adzan, maka perbuatan tersebut bid’ah. Tidak pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, maupun seluruh sahabat. Selain itu, ini akan disangka merupakan bagian dari adzan, sementara menambah lafadz adzan tidak diperkenankan dalam syariat. Seandainya itu baik, tentu salaf akan mendahului kita melakukannya dan akan diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 6/89, 90, 109, 110 dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/363) 

Tidak disyariatkan pula mengucapkan ta’awudz (ucapan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim) dan basmalah sebelum adzan, baik bagi muadzin maupun orang yang mendengarkan adzan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 6/101)

Ketiga: Setelah bershalawat, orang yang mendengar adzan memohon al-wasilah untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalil hadits Abdullah ibnu Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma.
Adapun doa memohon al-wasilah sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللُّهَمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ؛ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan doa, “Ya Allah! Wahai Rabbnya seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan ditegakkan ini, berikanlah kepada Muhammad al-wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah beliau pada tempat yang dipuji (maqam mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya4”, niscaya ia pasti akan beroleh syafaatku pada hari kiamat. (HR. Al-Bukhari no. 614, 4719)


Faedah
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba yang paling besar ubudiyyah (penghambaan/ pengabdian)nya kepada Rabbnya, paling berilmu tentang Rabbnya, paling takut dan paling besar cintanya kepada Rabbnya. Maka kedudukan beliau paling dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu menempati derajat paling tinggi di surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umat beliau agar memohonkan untuk beliau derajat tinggi tersebut, yang dengan doa itu mereka akan beroleh kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tambahan iman. Juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan derajat tersebut untuk beliau dengan sebab-sebab, di antaranya adalah doa umatnya untuk beliau agar mendapatkan derajat tersebut. Memang sepantasnya bagi umat ini mendoakan Nabi mereka, karena mereka bisa mengenal iman dan mengetahui petunjuk melalui tangan beliau. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan shalawat dan salam kepada beliau. (Hadil Arwah 1/134)

Keempat: Setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia inginkan terkait perkara dunia dan akhiratnya, niscaya akan diberikan permintaannya. Tatkala ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْمُؤَذِّنِيْنَ يُفَضِّلُوْنَنَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: قُلْ كَمَا يَقُوْلُوْنَ، فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ
“Wahai Rasulullah! Para muadzin melebihi kami.” Rasulullah bersabda, ”Ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin. Bila engkau telah selesai (menjawab adzan), mintalah niscaya engkau akan diberi.” (HR. Abu Dawud no. 524, hadits ini hasan shahih kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

ثِنْتَانِ لاَ تُرُدَّانِ- أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ- الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ حِيْنَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا 

“Ada dua doa yang tidak ditolak –atau sedikit sekali ditolak– yaitu doa setelah adzan dan doa ketika perang saat sebagian mereka merapat dengan sebagian yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2540, hadits ini dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)

Dikabarkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa waktu terkabulnya doa adalah antara adzan dan iqamat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
إِنَّ الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فَادْعُوْا
“Sesungguhnya doa di antara adzan dan iqamat tidak ditolak, maka berdoalah kalian.” (HR. Ahmad 3/155, berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu: sanadnya shahih, perawinya rijal shahih selain perawi yang bernama Buraid ibnu Abi Maryam, ia disepakati ketsiqahannya. Ats-Tsamar 1/198)
Saat yang demikian ini merupakan salah satu saat terkabulnya doa dan dibukanya pintu-pintu langit. (Al-Ikmal, 2/253) 
Dibolehkan baginya untuk mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, karena mengangkat tangan ketika berdoa adalah perkara yang diizinkan oleh syariat. Ketika berdoa, dia tidak mengeraskan suaranya. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 6/91-92) 

Adapun mengusap wajah ketika selesai berdoa, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullahu:

إِذَا دَعَوْتَ فَادْعُ اللهَ بِبُطُوْنِ كَفَّيْكَ، وَلاَ تَدْعُ بِظُهُوْرِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ 

“Apabila engkau berdoa, maka berdoalah kepada Allah dengan kedua telapak tanganmu dan jangan berdoa dengan punggung tanganmu. Lalu jika engkau telah selesai, usaplah wajahmu dengan kedua telapak tanganmu.”
maka hadits ini lemah, karena kelemahan Shalih bin Hassan, seorang perawinya. Dia didhaifkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, dan Ad-Daruquthni rahimahumullah. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu mengatakan tentangnya: “Munkarul hadits.” 

Begitu pula hadits lain yang berkaitan mengusap wajah yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dalam sanadnya ada Hammad bin ‘Isa, dia bersendiri dalam meriwayatkan hadits dan dia seorang rawi yang lemah. Sehingga mengusap wajah setelah berdoa tidak benar penukilannya, baik dari sunnah qauliyyah ataupun amaliyyah. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/94-95) 

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

[1] Dalam hadits Mu'awiyah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Mu'awiyah menjawab ucapan hay'alatani dengan hauqalah.
[2] Contoh yang lain dari penerapan kaidah di atas: ketika mendengar gonggongan anjing dan ringkikan keledai maka yang diajarkan dalam As-Sunnah adalah berta'awudz (meminta perlindungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setan. Bila saat itu engkau sedang membaca Al-Qur’an, maka putuskanlah (sejenak) bacaanmu dan berlindunglah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setan yang terkutuk. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/197)
[3] Shalawat ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana lafadz shalawat, beliau pun mengajarkan lafadz-lafadz ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thahawi rahimahullahu (3/75), kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu: “Hadits ini sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 3/927)
[4] Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membangkitkan beliau pada maqam mahmud ini sebagaimana dalam firman-Nya: 
عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Mudah-mudahan Rabbmu membangkitkanmu pada maqam mahmud/tempat yang dipuji.” (Al-Isra: 79)

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=818

 Sebuah Cerita Berjuta Makna

Tuesday 4 March 2014

Gunakan Hijabmu Wahai Saudariku...



Di bawah ini keterangan bagaimana hijab yang syar'i, yang telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla padamu. jangan biarkan hijab anda seperti apa yang mereka kehendaki, dengan alasan cinta dan kasih sayang.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menghendaki jilbab itu sebagai penutup tubuhmu dari pandangan matamata serigala, penjaga rasa malu, dan memelihara kehormatanmu. Karena itu, jangan anda campakkan rasa malu itu dengan menjauhi perintah-Nya, sebaliknya pegang teguhlah perintah itu, karena perasaan malu selalu membawa kepada kebaikan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari - Muslim dari "Imran bin Hushain Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَيَاءُ لاَيَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ

"Tidaklah rasa malu itu ada, kecuali selalu mendatangkan kebaikan".

Demikian juga Imam Hakim dan yang lainnya mengeluarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَيَـاءُ وَالإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِيْعًا, فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلآخَرُ.

"Perasaan malu dan iman itu selalu berdampingan, bila salah satunya hilang, hilanglah yang lainnya".

Maka peganglah dengan teguh perkara yang dapat membawa kebaikan dan mendekatkan diri anda kepada Allah Azza wa Jalla. Ketahuilah bahwa kehidupan di dunia ini adalah sementara, sedang kehidupan akhirat adalah kekal/selama-lamanya.jangan anda jual kenikmatan yang abadi itu dengan harta dunia yang sirna ini.

Allah Subhanahu wa ta’ala, berfirman:

وَمَـا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ اْلآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَقُوْنَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ – الأنعام :۳۲

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahami-nya?" (QS Al An'am : 32).

Berikut ini sifat hijab yang syar'i, saya mohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan pertolongan kepada anda untuk memegang teguh padanya, dan menjadikan anda termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti jalan yang baik.

1. Hijab itu hendaknya menutupi seluruh badan, dari atas kepala, sampai di bawah mata kaki, kecuali bagian-bagian yang dikecualikan oleh syariat.
2. Hendaknya jilbab itu luas dan longgar, sehingga tidak nampak bentuk tubuh dan anggota-anggota badan.
3. Kain jilbab itu harus tebal, sehingga tidak menampakkan warna kulit atau yang lainnya.
4. Tidak bersifat menghias tubuh yang menarik pandangan pria, karena tujuan jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi keindahan tubuh.
5. Tidak menyerupai pakaian pria.
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
7. Tidak menyolok dan menarik pandangan orang.
8. Tidak memakai pewangi atau minyak wangi yang tercium baunya.

Demikianlah syarat-syarat jilbab yang Syar'i, yang masing-masing ada dalilnya baik dari Al Qur'an maupun Sunnah, dan sengaja tidak saya cantumkan supaya tidak terlalu panjang pembahasannya.

Untuk lebih jelasnya, saya sarankan anda membaca dengan teliti kitab "Hijabul Mar'atul Muslimah menurut Al Qur'an dan As Sunnah" yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, semoga Allah memanjangkan umur beliau, karena banyak manfaatnya bagi kaum muslimin. (Beliau rahimahullah sudah wafat, semoga ruhnya ditempatkan bersama para syuhada dan shalihin, amin, pent).

Referensi: Buku “Membina Keharmonisan Berumah Tangga Menurut Al Qur’an dan Sunnah dan Bahaya Emansipasi Wanita” Hal. 23-28 Penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang)

Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150364391605717

 Sebuah Cerita Berjuta Makna

Bila Malu Sudah Tiada



Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan” (HR Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain).

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ


Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan” (HR Muslim).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman” (HR Bukhari dan Muslim).

Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman” (HR Bukhari dan Muslim).


Menurut penuturan Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.

Hakekat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Alloh melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintahNya. Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia.

Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para shahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akherat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya” (HR Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935).

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Alloh adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Alloh, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahawat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akherat.

Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat faham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandangNya maka dengan menyakini bahwa Alloh melihatnya” (HR Bukhari).

Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.


Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi bersabda, “Diantara perkataan para nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu” (HR Bukhari).

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.

الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang” (HR Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 1603).

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ


“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Alloh murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya”

kata-kata di atas ada yang menganggapnya sebagai sabda Nabi namun jika dinisbatkan kepada Nabi kata-kata di atas berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar. Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.

Ibnu Abbas mengatakan,

الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر

“Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435).


Hadits dan perkataan dua orang shahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk menucapkan kata-kata yang buruk.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran meraja lela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancer atau bahkan tindakan yang lebih jelek lagi


Sumber: http://ustadzaris.com/bila-malu-sudah-tiada

 Sebuah Cerita Berjuta Makna

Categories

islam (20) Hobby (10) Allah (9) do'a (9) wanita (9) Hypnosis (7) surga (7) Tugas Database (6) Tugas Kuliah (6) ibadah (6) kafir (6) muslim (6) neraka (6) sholat (6) cinta (5) tahun baru (4) tutorial (4) agama (3) dosa (3) freebsd (3) hukum (3) jilbab (3) pria (3) Al-Qur'an (2) Computer (2) Dream Journal (2) baik (2) csc (2) dakwah (2) guacamole (2) hamba Allah (2) komputer (2) linux (2) malu (2) nabi (2) perayaan (2) rdp (2) remote desktop (2) sesat (2) ssh (2) syaitan (2) telnet (2) unix (2) virtualbox (2) vmware (2) vnc (2) yahudi (2) Apache (1) Computer Student Club (1) HAProxy (1) Layer 7 (1) Load Balance (1) Nginx (1) PNJ (1) Politeknik Negeri Jakarta (1) SSL (1) Tips (1) Webserver (1) adzan (1) artikel islami (1) asterisk (1) aurat (1) belajar (1) debian (1) freebsd 9.3 (1) gelombang otak (1) gnuradio (1) hati (1) hijab (1) ikhlas (1) install freebsd (1) internet (1) jujur (1) kemuliaan (1) khusyuk (1) merayakan (1) muharam (1) musik (1) openbts (1) puasa (1) rahmat (1) rasa (1) rasul (1) realita kehidupan (1) remaja (1) sains (1) sakit (1) salam (1) smqueue (1) ucapan (1) wudhu (1) yate (1)

Share it !!!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger